Menjalani hidup,melepaskan dunia
Hidup tanpa keyakinan akan adanya kehidupan setelah mati adalah laku yang sering dipandang sebagai pengejaran dunia. Tak jarang orang mengira bahwa, tanpa keyakinan pada keabadian, hidup akan semata menjadi tempat memuaskan nafsu dan mengejar kesenangan. Namun, benarkah demikian? Apakah hidup hanya berarti sesuatu yang fana, lalu apa makna dari semua yang kita upayakan? Bagi saya, ketidakpercayaan akan kehidupan setelah kematian justru menghadirkan kesadaran yang mendalam tentang keterbatasan hidup—bahwa setiap tarikan napas kita adalah satu langkah menuju kepastian akan akhir.
Seperti daun yang jatuh karena angin, atau sungai yang mengalir tanpa henti menuju laut, hidup ini punya tujuan yang tertanam dalam dirinya sendiri. Saya bukanlah seorang yang mengejar dunia, melainkan seseorang yang berusaha merasakan setiap detik yang tersisa dengan keheningan, penuh syukur. Saya tahu tubuh ini tak abadi. Kelak ia akan kembali pada tanah, menyatu dengan alam, melebur ke dalam siklus besar kehidupan. Tidak ada janji kehidupan kekal yang bisa memikat saya untuk menjalani hidup dengan penuh ketergesaan atau kerakusan. Bagi saya, dunia adalah taman sementara, bukan tempat untuk menyemai ambisi tak bertepi.
Menyadari bahwa hidup hanya sementara tak membuat saya jatuh dalam kubangan kenikmatan tanpa arah. Sebaliknya, kesadaran ini justru memberikan keheningan. Saya hidup dalam ritme yang pelan, menikmati keseimbangan yang tak memaksa saya terus berlari. Kebahagiaan saya terletak pada hal-hal sederhana: kesendirian yang tenang, kesempatan berpikir, waktu untuk menulis, serta kebebasan berbagi pengetahuan kepada mereka yang membutuhkan. Bukankah kita sering kali mengejar kesenangan di tempat yang jauh, sementara kebahagiaan itu sesungguhnya bersandar dalam hal-hal yang ada di sekitar kita?
Dalam soal materi, saya bekerja hanya untuk mencukupi hidup saya, bukan untuk menumpuk harta. Uang memang penting, tetapi bagi saya uang tak lebih dari alat, bukan tujuan. Sebagian besar orang berlomba untuk memiliki sebanyak mungkin, dengan keyakinan bahwa kekayaan adalah gerbang menuju kebahagiaan. Namun, kebahagiaan yang digantungkan pada jumlah harta sering kali hanyalah bayangan semu. Saya hanya mencari secukupnya untuk hidup dengan tenang, tanpa perlu menggenggam dunia dalam genggaman. Saya tak ingin menjadi budak uang, tak ingin menjalani hidup seperti robot yang terus bekerja tanpa henti.
Makan pun kini terasa lebih sederhana. Saya telah menikmati berbagai rasa; kini, saya makan hanya untuk menjaga tubuh tetap sehat, tidak lebih dari itu. Kesenangan tidak lagi bersandar pada hidangan mewah, melainkan pada kesadaran bahwa setiap gigitan adalah anugerah yang memungkinkan tubuh ini berfungsi. Mungkin terdengar sederhana, tetapi dalam kesederhanaan ini saya menemukan kebahagiaan yang tidak bergantung pada kenikmatan fana.
Banyak orang melihat jabatan sebagai lambang kesuksesan. Namun, bagi saya, jabatan hanyalah simbol yang kosong jika tidak diiringi makna. Saya tak pernah mendambakan posisi tertinggi; jabatan saya cukup untuk membuat saya tetap berguna bagi perusahaan dan mereka yang bekerja di dalamnya. Saya menjalankan peran saya dengan sungguh-sungguh, bukan karena ingin naik ke puncak piramida, tetapi karena ingin memberi kontribusi yang nyata. Jabatan tertinggi pun tak akan memberi kepuasan jika hati kita tidak menemukan makna dalam apa yang kita lakukan.
Jadi, bagaimana dengan kebahagiaan? Kebahagiaan saya terletak pada saat-saat sunyi di mana saya bisa berkomunikasi dengan diri sendiri. Kebahagiaan saya terletak pada kata-kata yang tertuang di atas kertas, pada pemikiran yang mendalam, dan pada momen ketika saya bisa berbagi wawasan kepada orang lain. Saya menemukan kebahagiaan dalam perjalanan, baik ketika mengunjungi kota-kota besar yang gemerlap maupun ketika menjelajahi alam yang sunyi. Kebahagiaan tidak perlu dikejar ke sudut-sudut dunia yang jauh; ia ada di sini, dalam setiap langkah yang kita ambil dengan kesadaran.
Keyakinan atau ketidakpercayaan terhadap kehidupan setelah mati bukanlah penentu mutlak cara hidup seseorang. Banyak yang percaya pada kehidupan abadi namun tetap serakah, menginginkan lebih dan lebih, terjebak dalam pusaran nafsu yang tak pernah puas. Kepercayaan mereka tidak selalu membimbing mereka pada kehidupan yang damai, seolah-olah hidup setelah mati adalah alasan untuk terus mengejar dunia.
Sadar akan keterbatasan hidup ini justru mengajari saya untuk hidup dengan penuh kesadaran. Dunia ini, dengan segala keindahan dan kerapuhannya, tak perlu kita genggam erat. Sebaliknya, ia bisa kita jalani dengan ringan, seperti angin yang berhembus atau daun yang jatuh tanpa beban. Saya memilih untuk menghabiskan sisa hidup ini dengan tenang, tanpa terburu-buru, tanpa perlu merampas, tanpa perlu menguasai. Dan ketika saatnya tiba untuk berpisah dari dunia ini, saya ingin pergi dengan hati yang tenang, meninggalkan dunia yang telah saya jalani, bukan saya kejar.
Hidup, dalam pandangan saya, adalah perjalanan dalam sunyi. Kita tak perlu membebani diri dengan keinginan yang tak pernah terpenuhi, tak perlu mengejar harta yang tak bisa kita bawa. Hidup cukup dijalani dengan kehadiran penuh, menghargai setiap detik yang tersisa, dan membiarkan dunia berjalan sebagaimana mestinya. Inilah kedamaian yang saya temukan, bukan dalam kepercayaan tentang apa yang terjadi setelah mati, tetapi dalam keyakinan bahwa setiap detik yang berlalu adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, cukup untuk membuat saya merasa utuh.
Komentar
Posting Komentar