Senyum yang Tak Tampak
Di lembah yang tak tercatat dalam peta wisata, tersembunyi di antara lipatan hutan bambu dan nyanyian sungai kecil, berdiri sebuah rumah kayu tua yang menua bersama waktu. Rumah itu tak roboh, tapi juga tak utuh. Atapnya berlumut, lantainya berdecit jika diinjak, dan jendelanya jarang terbuka. Hanya bunga kertas yang terus mekar di pagar bambunya—mewarnai sunyi yang tak bisa diusir siapa pun.
Di sanalah Sekar tinggal.
Usianya dua puluh satu, tapi matanya seperti milik perempuan berumur empat puluh—terlalu tenang untuk seorang muda. Di desa, orang-orang menyebutnya "anak Bu Marni yang tak pernah tersenyum." Bukan dengan nada sinis, hanya nada yang sudah lama menyerah mencari jawaban.
Sekar memiliki kelainan pada otot wajahnya—disebut orang sebagai kelumpuhan parsial fasial. Ia tak bisa tersenyum, tak bisa tertawa. Wajahnya bagai permukaan danau tanpa riak. Tapi bukan itu yang membuat orang menjauh. Bukan itu yang membuat rumah kayu itu perlahan menjadi bagian dari lanskap saja, bukan tempat tinggal manusia.
Yang membuat mereka enggan adalah ketenangan yang terlalu sunyi, terlalu senyap. Orang desa takut pada hal-hal yang tak mereka pahami, dan Sekar adalah salah satu dari hal itu.
Padahal dulu, sebelum ayahnya meninggal karena jatuh dari tebing rotan, Sekar adalah anak kecil yang ceria. Setidaknya begitu cerita yang dibagikan orang-orang yang masih ingat. Tapi setelah kehilangan itu, dan menyusul ibunya yang perlahan sakit dan akhirnya meninggal juga, Sekar tinggal sendirian dalam sunyi yang dipeliharanya sendiri.
Tak ada yang tahu apa yang ia lakukan di dalam. Tapi setiap kali ada angin membuka jendela rumah itu sebentar, terlihat dinding yang penuh tempelan kertas—gambar-gambar dunia yang lain. Dunia yang mungkin hanya bisa ia jangkau lewat pensil warna dan imajinasinya.
Hingga suatu musim, datanglah Banyu.
Ia tak mencari Sekar. Ia hanya sedang mencari tempat tenang untuk menyelesaikan tugas akhir kuliahnya di jurusan seni rupa. Ia menyewa kamar di rumah Pak Lurah dan memilih desa itu karena letaknya terpencil dan “tidak ada gangguan.” Tapi nyatanya, justru karena sunyilah ia terganggu.
"Di sini ada seorang gadis," kata Pak Lurah suatu malam sambil menyeruput kopi. "Wajahnya datar, matanya kosong. Tak pernah tertawa. Tapi gambarnya... katanya luar biasa."
Banyu, yang punya rasa ingin tahu besar terhadap ekspresi manusia dalam seni, tertarik bukan karena sensasi, tapi karena keheningan itu sendiri. Ia percaya, keheningan adalah bentuk komunikasi paling jujur yang bisa dimiliki manusia.
Esoknya, ia datang ke depan rumah Sekar. Tidak mengetuk, tidak memanggil. Ia hanya meletakkan seikat bunga liar dan selembar kertas kosong, serta sebuah pensil warna.
Lalu ia pergi.
Besoknya, ia kembali. Kertas itu belum disentuh. Tapi bunga itu tak ada. Entah dibuang, entah disimpan. Ia mengulang rutinitas itu setiap hari selama seminggu. Sampai suatu hari, kertas yang ia tinggalkan kembali padanya—penuh goresan lembut: gambar seorang anak perempuan duduk di pinggir danau, memeluk seekor burung bangau yang sayapnya patah.
Sejak hari itu, sesuatu berubah.
Banyu tak pernah menuntut pertemuan. Ia hanya datang sore hari, duduk di bawah pohon mangga di seberang rumah Sekar, memainkan gitar, membaca buku, atau sekadar diam menatap langit. Ia tak menunggu, tapi ia hadir. Itu saja sudah cukup.
Dan entah sejak kapan, jendela rumah itu mulai terbuka setiap sore. Kepala Sekar tak pernah muncul, tapi kadang, suara langkahnya terdengar samar di balik dinding kayu.
Tiga bulan kemudian, Sekar berdiri di ambang pintu.
Tubuhnya kurus, rambutnya dikepang dua seperti gadis kecil. Bajunya sederhana, dan wajahnya tetap seperti dulu: datar. Tapi matanya menatap langsung ke mata Banyu, seperti dua samudera yang tak takut lagi menunjukkan kedalamannya.
"Kenapa kau selalu datang?" tanyanya, suaranya nyaris seperti bisikan angin. Pelan, tapi penuh rasa.
"Karena aku percaya," jawab Banyu, "ada senyum yang indah di balik wajah itu. Mungkin bukan untukku. Tapi untukmu sendiri."
Sekar tak menjawab. Tapi ia tak menutup pintu juga. Dan itu, bagi Banyu, sudah cukup.
Musim berganti. Angin makin lembut, matahari makin malas. Hubungan mereka tak pernah diberi nama. Tak ada pernyataan cinta, tak ada janji. Tapi mereka berbagi sore, berbagi diam, berbagi gambar. Sekar mulai meninggalkan gambar-gambar untuk Banyu, dan Banyu membalas dengan puisi-puisi kecil yang ia selipkan di bawah pot bunga.
Sekar bahkan mulai menggambar wajah. Wajah-wajah manusia tanpa mulut. Tapi mata-mata itu berbicara, entah tentang kesedihan, tentang kehilangan, atau tentang harapan yang masih hidup meski nyaris padam.
Namun waktu, seperti biasa, punya rencana sendiri.
Suatu hari, Banyu mendapat panggilan dari ibunya di kota. Ayahnya sakit, dan ia harus pulang. Mungkin hanya sebentar, mungkin lebih lama dari itu. Ia tak sanggup mengucap kata perpisahan, maka ia tinggalkan saja satu lukisan untuk Sekar: lukisan dirinya yang sedang duduk di bawah hujan, dengan Sekar di seberangnya. Di wajah Sekar—untuk pertama kalinya dalam kanvas—terlukis lengkung tipis di sudut bibirnya. Bukan senyum penuh. Tapi cukup untuk membuat langit tampak sedikit lebih terang.
Sekar memandangi lukisan itu lama. Semalaman ia tak tidur. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya—ia menangis.
Tangis yang lama dikubur. Tangis yang tak bisa ia pahami sendiri sumbernya. Tangis karena ditinggal. Tangis karena merasa berarti. Tangis karena ternyata ia juga bisa mencintai dalam diam.
Namun bibirnya tetap tak bergerak.
Bertahun kemudian, nama Sekar dikenal di dunia seni rupa sebagai seniman yang unik—lukisan-lukisannya selalu menggambarkan manusia tanpa senyum, tapi menghadirkan rasa hangat yang tak bisa dijelaskan dengan teori mana pun.
Pameran pertamanya diadakan di galeri ibu kota dengan tajuk: Senyum yang Tak Pernah Tampak.
Orang-orang datang. Mereka menangis, terdiam, tersenyum sendiri. Mereka berdiri lama di depan lukisan-lukisan itu, seolah menanti sesuatu yang tak akan pernah muncul di wajah, tapi terasa kuat di dada.
Di sudut pameran itu, tergantung satu lukisan kecil. Seorang pria duduk di bawah pohon mangga, membaca buku, dengan wajah tenang yang menatap langit. Tak ada judul. Hanya ditulis di bawahnya: “Yang Pernah Hadir.”
Sekar tak pernah hadir di pembukaan. Ia tetap tinggal di rumah kayu tuanya yang kini dipenuhi bunga dan suara anak-anak yang ia ajari menggambar tiap sore. Ia tak menjawab surat, tak menandatangani wawancara.
Tapi mereka yang pernah datang ke rumahnya, tahu satu hal:
Senyum itu mungkin tak pernah tampak di wajah Sekar. Tapi semua orang yang pernah bersinggungan dengannya, pernah merasakannya.
Dan kadang, itulah senyum yang paling jujur:
Senyum yang tak perlu terlihat, tapi tetap mampu menyelamatkan dunia.
Komentar
Posting Komentar