Tempat Suci,dimanakah?

Tak sedikit manusia mengembara, mendaki gunung atau menembus debur laut demi satu hal yang terdengar mulia: mencari tempat suci. Tempat di mana doa-doa akan lebih mudah dikabulkan. Di mana semesta katanya lebih mau mendengar. Di mana diri merasa lebih dekat pada-Nya. Tapi bukankah perjalanan yang paling jauh bukanlah ke puncak Himalaya, melainkan masuk ke dalam diri sendiri?

Dalam sejumlah lontar tua yang dibaca sambil setengah mengantuk di bale dangin, dalam buku-buku berdebu yang dijilid ulang oleh waktu dan fotokopi murid-murid filsafat yang mulai patah arah—ada satu kalimat yang tak pernah hilang: tubuh adalah candi paling suci. Bukan hanya sekadar tempat tinggal roh, tapi tempat para dewa dan dewi mendirikan singgasana. Tubuh bukan sekadar daging dan tulang. Ia meru. Ia prasadha. Ia jagat kecil tempat semua semesta bersemayam.

Jantung katanya adalah stana Iswara. Hati adalah pelataran suci Brahma. Empedu, jangan remehkan, itu adalah singgasana Wisnu. Bahkan ginjal, organ yang kerap dilupakan kecuali ketika bermasalah, adalah tempat Mahadewa memejamkan mata dan memelihara dunia dalam diamnya. Paru-paru, usus besar, usus halus—semuanya bukan hanya bagian dari tubuh, melainkan lorong-lorong sunyi tempat ilahi bernafas dalam kita.

Lalu Sucita Subudi, penyair sekaligus pemimpi itu, menulis tubuh sebagai meru. Sebuah miniatur gunung suci yang atapnya bertumpang-tumpang, menjulang bukan ke langit luar tapi ke langit batin. Meru itu kadang goyah oleh angin hasrat, kadang bergetar karena gempa kemarahan. Tapi di dalamnya tetap berdiri tegak altar tempat Shiwa menunggu. Menunggu kapan kita pulang.

Sebuah mantra tua bahkan menyatakan tubuh sebagai prasadha—bangunan suci tempat Tuhan berstana. Tapi seperti semua bangunan suci, ia tak serta merta terbuka. Ada gerbang. Ada lapisan. Ada anak tangga yang harus dilewati. Tubuh pun demikian. Bertumpang-tumpang, berlapis-lapis. Lapis fisik, lapis emosi, lapis pikiran, hingga lapis yang bahkan tak bisa dilihat mata batin biasa. Di lapisan terdalam itulah, katanya, cahaya itu tinggal.

Maka orang-orang pun mulai membuka lapisan-lapisan itu. Lewat tapa, yoga, semedi, puasa, kadang juga lewat luka. Karena tak semua jalan menuju Tuhan atau apapun itu yang tak terdefinisikan itu berbunga. Ada yang berduri. Ada yang sunyi. Tapi semua menuju satu arah: pulang ke diri.

Namun ironis, ketika tubuh disebut tempat suci, kita justru mencari suci ke luar. Membangun pura, kuil, candi megah. Menempuh perjalanan jauh untuk menyentuh batu suci, padahal tak pernah menyentuh batin sendiri. Kita sembahyang di altar, tapi lupa merawat tubuh yang katanya tempat para dewa. Kita bersihkan pelinggih dari debu, tapi membiarkan hati ditumbuhi kerak dendam.

Barangkali, kita memang beribadah di tempat suci. Tapi di lapisan terdalam tubuh kita, Tuhan sudah lama pergi. Ia bosan ditinggalkan, lalu pergi dengan diam. Dan kita terus mencarinya ke luar, ke mana-mana. Ke gunung tinggi, ke gua dalam, ke kitab-kitab yang lupa dibaca.

Padahal, siapa tahu… tempat suci itu hanya satu tarikan napas ke dalam.

Dan Tuhan masih sabar menunggu kita pulang.


Komentar

Postingan Populer