Diam sejenak
Ambil waktu sejenak. Tidak untuk melarikan diri, tapi untuk kembali.
Berhentilah mengejar dunia, walau hanya sebentar—
karena tak ada gunanya menang dalam perlombaan yang bahkan tak kau pahami arahnya.
Tarik napas dalam-dalam.
Bukan sekadar mengisi paru-paru, tapi mengingatkanmu bahwa kau masih hidup.
Bahwa denyut nadi ini bukan sekadar rutinitas biologis, melainkan puisi sunyi yang terus dibacakan oleh semesta.
Dunia ini bising.
Ambisi, notifikasi, target-target tanpa henti—
semuanya berlomba mencuri perhatianmu, membuatmu lupa bahwa keberadaanmu sendiri adalah mukjizat yang agung.
Terkadang, yang kau butuhkan bukan motivasi, tapi hening.
Bukan langkah lebih cepat, tapi pijakan yang lebih sadar.
Diam. Hadir. Sadar.
Itulah kekuatan sejati yang telah lama kau tinggalkan di balik kesibukan.
Bernapas adalah doa paling purba.
Ia tidak butuh kata-kata. Hanya kesadaran.
Banyak orang mencari jawaban di luar—
di buku, seminar, atau petuah orang bijak.
Namun yang sering luput disadari: jawaban terbaik
selalu datang dari tempat yang paling sunyi—
dari ruang dalam diri, yang hanya bisa dijangkau saat kau berani duduk diam dan mendengar.
Dan dalam diam itu,
kau akan menemukan sesuatu yang tak bisa dibeli dengan kekayaan:
koneksi.
Dengan dirimu. Dengan jiwamu. Dengan Sumber segala kehidupan.
Ingatlah:
Kita semua akan mati. Itu kepastian.
Uang penting. Tapi serakah akan uang justru membuatmu lupa hidup.
Kau bisa memiliki dunia,
namun tetap merasa hampa jika tak pernah bersentuhan dengan kedalaman batinmu sendiri.
Maka berhentilah sejenak.
Tarik napas dengan penuh kesadaran.
Bukan untuk lari dari dunia, tapi untuk kembali dengan utuh.
Karena hanya mereka yang pernah diam, yang tahu bagaimana hidup dengan benar-benar hadir.
Foto arsip pribadi: Matahari terbit di Bromo
Komentar
Posting Komentar