Purnama di(Bali) Tanah Tantra

PURNAMA DI TANAH TANTRA
Penulis : Guruji Gede Prama

Purnama bukan saja malam terang di mana banyak orang bersembahyang. Tetapi juga membawa pesan simbolik, di mana semua kegelapan malam diterangi cahaya bulan dari langit. Bila boleh jujur, kehidupan berisi banyak kegelapan. Dari kebodohan, kebingungan, kemarahan sampai kebencian. Itu sebabnya, tujuan akhir perjalanan spiritual disebut enlightenment (pencerahan). Ada kata light (cahaya) di tengahnya. Ini serupa dengan warisan spiritual tetua Bali yang mengkaitkan banyak kegiatan spiritual dengan muncul dan lenyapnya cahaya.

Agak berbeda dengan tempat lain umumnya di dunia di mana persembahyangan dilakukan hanya di malam terang, diarahkan untuk tujuan terang, di Bali kita diwarisi tetua bersembahyang baik di malam terang maupun malam gelap. Persembahan (suguhan) tidak saja ditujukan untuk yang atas, tetapi juga untuk yang di bawah. Bila salah menjelaskan, segelintir anak muda Bali akan mengira tetuanya mengajarkan memuja setan. Untuk itulah, mesti ada yang membahasakan warisan tetua dalam bahasa kekinian.

Pohon beracun

Ada berbagai cara menjelaskan perjalanan spiritual. Salah satu pendekatan yang mudah dicerna adalah dengan melihat kehidupan sebagai pohon beracun. Banyak sekali racun dalam kehidupan. Dari kemarahan, kebencian, kebingungan, bahkan judul suci dan tercerahkan pun bisa membuat keracunan. Terutama karena merasa diri suci atau tercerahkan, kemudian merasa paling benar, dan marah besar tatkala tidak diikuti.

Untuk itulah, langkah pertama adalah menjauh dari racun-racun kehidupan. Di Hindu disebut tapa brata yoga samadhi, di Buddha petapa menjaga dirinya dengan sila, vinaya, bodhichitta, samaya. Intinya satu, melatih diri keras-keras agar tidak dibawa pergi oleh arus kehidupan yang beracun.

Andaikan seseorang sudah melatih disiplin diri selama dua puluh tahun berturut-turut, itu masih sangat pendek dibandingkan lamanya manusia mengotori batinnya selama berjuta-juta kehidupan. Untuk itu, langkah menjauh dari pohon beracun ini menjadi langkah sulit dan lama.

Tidak perlu menunggu sempurna (karena manusia tidak pernah sempurna), begitu batin cukup bersih (tandanya berhenti dicengkram kebencian dan kemarahan, lapar berbuat baik), maka langkah kedua terbuka. Disarankan untuk kembali ke kehidupan sehari-hari namun dengan tugas mulia: menjaga jangan sampai terlalu banyak mahluk mati keracunan.

Mereka yang panggilan hidupnya jadi orang suci memimpin upacara. Yang jadi guru membimbing masyarakat dengan Dharma. Yang menjadi penulis menulis dengan kesejukan dan kelembutan. Bahkan menjadi orang tua pun termasuk menjalani tugas kedua ini. Esensinya satu, membimbing mahluk memasuki gerbang kebajikan.

Dalam tugas ini, tidak saja yang dibantu yang memperoleh manfaat, yang membantu malah mendapat manfaat lebih besar. Terutama karena tugas-tugas pelayanan membuat Dharma semakin menyatu dengan batin ini. Dalam bahasa Mahatma Gandhi: “Life spent in service is the most fruitful life“. Kehidupan yang diisi pelayanan, itulah kehidupan yang paling menggetarkan. Kabir lain lagi: “l glimsed into that light few seconds, it transformed me into a servant of life“. Cahaya itu muncul beberapa detik, ia merubah seorang penyembah menjadi pelayan.

Dengan modal Dharma yang sudah membadan inilah, baru seseorang boleh memasuki wilayah ketiga (Tantra): merubah racun menjadi obat kehidupan.

Bali dan Balian

Mungkin itu sebabnya sebagian orang Bali yang sudah memperoleh berkah spiritual kemudian menjadi balian (penyembuh). Tidak saja penyembuh fisik, namun juga jiwa. Jiwa tersembuhkan sepenuhnya bila ia sudah mengalami pencerahan (the ultimate healing). Dalam bahasa seorang guru zen: pencerahan adalah danau biru dan bukit menghijau. Sederhananya, semuanya sempurna apa adanya.

Bila semuanya sudah sempurna apa adanya, tidak lagi tertarik berdebat, apa lagi menyebut orang lain salah. Mungkin ini sebabnya tetua Bali memberi sebutan Tuhan dengan Sang Hyang Embang (Yang Maha Sunyi), merayakan tahun baru dengan hari Nyepi, menyebut puncak persembahyangan dengan Parama Shanti (the ultimate peace), memberi tanda di titik pusat Pura Besakih di antara Kiwa-tengen dengan Shunya (keheningan yang tidak perlu dijelaskan), melihat keseharian dengan rwa bhineda.

Ada berbagai jalur yang tersedia untuk memahami Tantra. 0sho dalam The book of secret, menggunakan Vigyam Bhairava Tantra. J.Krishnamurti menggunakan Freedom from the known. Bebas dari segala konsep. Ramana Maharshi berjumpa Tantra setelah diam puluhan tahun, menyebut ajarannya Dhaksina Murti: Shiva yang bisa dijumpai di kedalaman keheningan.

Dalam Anuttarayogatantra (kesempurnaan agung, Professor Daniel Cozort dari Universitas Virginia menyebutnya Highest Yoga Tantra), akar guru Tantra bernama Shamantabhadra. Ia disimbolkan dengan Pertapa telanjang yang memangku wanita telanjang. Bibirnya dalam posisi berciuman. Ini yang membuat segelintir sahabat di Barat tergelincir ke dalam kesimpulan berbahaya bahwa Tantra adalah seks bebas. Memang semua (termasuk seks) bisa ditransformasikan menjadi jalan spiritual dalam Tantra. Namun jangankan murid, guru pun jarang yang berani menggunakan seks sebagai jalan spiritual karena amat sangat berbahaya. Dalam sejumlah teks disebutkan, Shamantabhadra berarti memberikan ruang baik pada kesucian maupun ketidaksucian. Dalam teks lain, Shamantabhadra berarti semuanya baik.

Sementara kebanyakan orang mempertentangkan suci dan kotor, Tantra melampauinya. Perang, pertempuran, perkelahian semuanya berebut menyebut diri suci dan benar, serta melemparkan kekotoran, kesalahan pada pihak lain.

Mungkin itu maksud tetua Bali dengan warisan spiritual Lingga-Yoni dan Nyegara Gunung sebagai titik berangkat dalam menentukan posisi tempat suci, membuat sesajen, di mana spirit maskulin lebur dengan spirit feminim. Di Kintamani dan Uluwatu, keduanya malah menyatu ke dalam keindahan.

Di tingkat-tingkat awal belajar Tantra, murid diminta menyembah Dewa. Ini mirip sekali dengan praktek persembahyangan di Bali. Di tingkat berikutnya, bersahabat dengan Dewa. Selanjutnya rahasia. Makanya ada guru menyebut Bali sebagai pulau Tantra.

Guru-guru Tantra melihat dalam meditasi sarva dharma. Semuanya serba Dharma. Tatkala seluruh dualitas (suci-kotor, benar-salah, baik-buruk, sukses-gagal) adalah Dharma, lidah jadi kelu. Tidak ada lagi yang layak ditanyakan, apa lagi diperdebatkan. Bukankah ini yang dimaksud pencerahan adalah danau biru dan bukit menghijau?.

Seorang putera bertanya ke papanya, bila semua adalah Dharma, berarti korupsi, selingkuh juga Dharma? Dengan lembut papanya menjawab: “memandanglah seperti langit, bertindaklah seperti bumi”. Langit memayungi apa saja dan siapa saja tanpa keserakahan memilih. Tidak ada pengkotak-kotakan Dharma-Adharma bagi langit. Namun di bumi, bila menanam kelapa dapatnya kelapa, menanam ketela dapatnya ketela. Begitu juga ketika bertindak, ia yang mencuri akan diciduk polisi. Ia yang menyayangi akan disayangi.

Dalam pandangan ala langit, kaya baik miskin juga baik. Dengan kekayaan lebih banyak yang bisa dibantu. Melalui kemiskinan kehidupan sedang mengajarkan kerendahatian. Sehat baik, sakit juga baik. Kesehatan adalah kesempatan untuk banyak berdoa. Sakit adalah kesempatan membayar hutang-hutang karma.

Dalam bertindak ala bumi, semua ada hukumnya. Ia sesederhana menyentuh air basah, memegang api terbakar. Ia yang di dalamnya kebencian akan mengundang kebencian di mana-mana. Ia yang di dalamnya cinta akan berjumpa cinta di mana-mana.

Inilah purnama di tanah Tantra. Berjumpanya Ayah langit dengan Ibu pertiwi. Kebingungan dalam memandang diterangi oleh cahaya bulan dari langit. Kebingungan dalam bertindak dibimbing cinta Ibu pertiwi. Makanya ada yang menulis “realization is the total collapse of confusions“. Ketika jiwa sepenuhnya sembuh, seluruh bangunan kebingungan mengalami keruntuhan. Menyisakan sebuah kehidupan yang terang benderang yang berisi kasih sayang.

Perhatikan apa yang ditulis Ezra Bayda dalam At Home In The Muddy Water: May we exist like a lotus. At home in the muddy water. Thus we bow to life as it is. Guru-guru tercerahkan di luarnya juga mengalami naik-turun (sehat-sakit, dipuji-dicaci, disebut baik disebut munafik dll). Bedanya dengan orang kebanyakan, apa pun yang terjadi dalam kehidupan, manusia tercerahkan sama sekali tidak tersentuh. Persis seperti bunga Padma, di air tetapi tidak basah, di lumpur namun tidak kotor. Sebaliknya malah bertumbuh dan mekar di lumpur. Karena itulah bisa membungkuk hormat pada kehidupan apa adanya.

Di tingkatan ini, tentu bukan kebetulan kalau Guru Besar Mpu Kuturan di abad ke-11 pernah melihat Bali dengan mata spiritual kemudian menyebut Bali dengan Padma Bhuwana (alam semesta yang menyerupai bunga Padma), atau Ida Dhang Hyang Dwi Jendra di abad ke-16 yang memberi kita warisan Padma Sana (tempat duduk di atas bunga Padma).

Photo Courtesy: Lukisan Besakih Full Moon karya “Besakih Bulan Putih (Besakih Full Moon)” karya pelukis JB. Iwan Sulistyo.

Sumber : www.belkedamaian.org/kesembuhan/2010/02/02/purnama-di-tanah-tantra.html

Komentar

Postingan Populer