Tantrayana

Tulisan yang sangat menarik tentang DangHyang  Dwijendra Dan Tantra yang membawa pengaruh sangat besar pada kehidupan agama  (Hindu) Siwa Buda di Bali.

--------------------------------------------------------------------------

"Kapan saja zaman kali yuga menunjukkan tanda-tanda amat berbahaya, saat itulah ajaran Tantra akan menyebar seperti api kesetanan”, demikian pesan guru Tantra Padmasambhawa yang lahir dari bunga Padma.

Sejujurnya, inilah zaman kali yuga yang menakutan. Perang, terorisme, bencana alam di mana-mana. Indonesia pasca reformasi tidak habis-habisnya ribut. Bali yang ratusan tahun dikagumi dunia dengan kedamaiannya, sekarang diserbu ketakutan dari banyak penjuru: rabies, hiv/aids, kriminalitas hingga perkelahian.

Racun jadi obat

Berbeda dengan kebanyakan jalan spiritual yang menjauhkan diri dari racun kehidupan (kemarahan, seks), ciri khas jalan Tantra adalah mengolah racun menjadi obat. Itu sebabnya, sebagian guru Tantra melakoni kehidupan dengan menjadi orang yang berkeluarga.

Masih terang dalam memori orang Bali, di abad 16 Bali pernah punya guru Tantra yang amat berkarisma yakni Ida Danghyang Dwijendra. Dikatakan guru Tantra karena hanya di Tantrayana ada orang suci Buddha yang beristri. Hanya sebagai pembanding, Tulku Urgyen Rinpoche, Chogyam Trungpa Rinpoche sebagai guru-guru Tantra yang dikagumi di Barat, keduanya beristri dan punya keturunan. Di masa lalu, Marpa (guru berpengaruh setelah Tilopa dan Naropa) Dalai Lama VI, Karmapa XV semuanya memiliki istri (consort).

Sebagaimana dicatat sejarah, sebelum sampai di Bali, Ida Danghyang Dwijendra sudah beristri. Setelah di Bali, isteri beliau bahkan bertambah. Lebih-lebih bila melihat pura luhur Uluwatu di mana beliau lebar. Pura luhur Uluwatu adalah sebuah lingga-yoni (perpaduan maskulin-feminim) alam yang mengukir keindahan. Ini amat mirip dengan guru akar Tantra yang amat menentukan bernama guru Dharmakaya Samantabhadra. Guru ini digambarkan dalam bentuk Buddha telanjang yang memangku wanita telanjang, bibir keduanya dalam posisi berciuman.

Bagi kebanyakan jalan spiritual, membayangkan hubungan seks saja sudah merasa kotor. Namun Samantabhadra berarti menyediakan ruang baik pada kesucian maupun ketidaksucian. Arti lain Samantabhadra adalah semuanya baik. Makanya simbolik alam yang kerap dipakai di jalan ini adalah ruang dan langit. Ruang sifatnya tidak terbatas. Ruang menyediakan tempat bertumbuh pada apa saja dan siapa saja. Langit memayungi semuanya tanpa keserakahan untuk memilih. Inilah langkah awal mengolah racun menjadi obat kehidupan.

Perhatikan salah satu judul hasil karya Ida Danghyang Dwijendra yang berjudul Sebun Bangkung (tempat memelihara babi). Bagi kebanyakan manusia, sebun bangkung jauh dari layak untuk digunakan wakil dari jalan spiritual yang suci. Sebun bangkung representasi dari tempat yang kotor, jorok, kumuh. Namun di tangan guru Tantra, kekotoran dan kejorokan ditransformasikan menjadi obat.

Catatannya kemudian, sangat sedikit guru (apa lagi murid) yang boleh memasuki gerbang Tantra. Tidak saja syaratnya berat, resikonya juga berbahaya. Namun, sebagaimana warisan spiritual Lama Padmasabhawa, tidak terhitung jumlah manusia biasa yang dibebaskan (moksha) melalui instruksi-instruksi Tantra.

Sayangnya, hal seperti ini menuntut sejumlah syarat. Pertama, diperlukan kesiapan karma yang cukup bagi seseorang untuk bisa meyakini seorang guru. Kedua, dituntut serangkaian praktek guru yoga dan guru puja yang mendalam. Ketiga, bermodalkan hal pertama dan kedua tadi baru kemudian sujud di kaki guru untuk menerima instruksi singkat agar tidak terus menerus berputar di samudera penderitaan ini.

Bahan-bahan obat instruksi singkat yang kerap diberikan guru, sesungguhnya sudah dimiliki setiap manusia. Makanya banyak guru Tantra berpesan: \”Jangan pulang dengan tangan kosong\”. Maksudnya, tubuh manusia ibarat pulau berisi banyak sekali berlian spiritual. Sayangnya, terlalu banyak manusia karena kebodohan, ketidaktahuan, ketidakyakinan, meboya membuat seseorang mengira bisa membawa uang, rumah dan keterkenalan setelah kematian.

Di tangan guru Tantra seperti Lama Padmasambhawa pembungkus kebodohan ini dibuka, kemudian murid langsung melihat, sesungguhnya hakekat batin manusia adalah tercerahkan. Sebagai contoh, pernah terjadi seorang pria tua melayani Lama Padmasambhawa bertahun-tahun. Di tahun ke sekian, sang guru mau melanjutkan perjalanan. Dengan air mata yang menetes, orang tua ini mencium kaki guru, memberikan persembahan, kemudian meminta obat spiritual.

Dengan tenang dan berwibawa Lama Padmasambhawa menunjuk ke hulu hati orang tua tadi. Maksudnya, semua bahan untuk tercerahkan sudah ada di dalam. Kemudian guru berpesan: \”Peluk semuanya dengan penuh kesadaran. Sampai di suatu waktu mengalami keadaan batin yang stabil sempurna. Batin yang tidak pernah lahir dan tidak pernah mati\”. Dan benar, orang tua ini mengalami pembebasan akhirnya.

Pengandaiannya, batin manusia biasa ibarat hanyutnya sampah di banjir sungai (riuh, gemuruh, ribut, tidak tentu). Instruksi singkat guru awalnya membuat murid berenang ke pinggir (mulai sadar bahwa banjir riuh itu bukankah hakekat diri yang sesungguhnya). Pencerahan terjadi, ketika seseorang sudah keluar dari arus banjir bandang kehidupan, kemudian berdiri tenang seimbang di pinggir sungai. Kemudian menyadari dalam-dalam, semua sudah sempurna apa adanya.

Guru Yoga

Dalam pengertian banyak orang, moksha (pembebasan) berarti sama sekali tidak terlahir kembali. Namun bagi sebagian guru Tantra, moksha artinya tidak terlahir lagi secara sembarangan. Didorong oleh welas asih terhadap penderitaan semua mahluk yang jumlahnya tidak terbatas, kemudian mempersiapkan diri untuk terlahir kembali di tempat yang memungkinkan tugas mengajarkan Dharma bisa dilakukan.

Makanya, salah satu guru Tantra yang amat dikagumi di Barat (Lama Thubten Yeshe) beberapa tahun sebelum wafat berkali-kali berjanji di depan muridnya: \”bila dalam hidup ini Anda belum mengalami pencerahan, kita akan berjumpa kembali di kehidupan berikutnya\”. Dan ternyata benar, setahun setelah beliau wafat sudah ditemukan terlahir kembali. Tulku Urgyen Rinpoche wafat tahun 1996, lima tahun kemudian sudah ditemukan terlahir kembali. HH Dalai Lama sudah reinkarnasi 14 kali, Karmapa sudah terlahir 17 kali.

Jika ini pengertian yang digunakan, bukan tidak mungkin Ida Danghyang Dwijendra sedang bersama krama Bali mengenakan tubuh dan nama berbeda. Sayangnya, di Tantra diperlukan praktek guru yoga dan guru puja yang amat mendalam sehingga seseorang bisa mengenali kelahiran guru kembali.

Ada banyak langkah guru yoga dalam hal ini. Namun yang terpenting adalah terus menerus belajar melihat guru tidak sebagai manusia. Melainkan memandang guru sebagai Shiva (bagi pemuja Shiva) atau sebagai Buddha (bagi pemuja Buddha). Kapan saja guru sudah terlihat (dalam mimpi, dalam meditasi dll) sebagai Shiva atau Buddha, itu tandanya perjalanan sudah dekat.

Kemudian cepat-cepatlah mencium kaki guru, berikan persembahan, minta instruksi singkat sebagai bekal untuk menyongsong kematian. Bila terjadi penyatuan guru-murid yang sempurna (seperti Tilopa dengan Naropa, Marpa dengan Milarepa), di waktu kematian murid akan bernasib seperti bulan purnama yang lama ditutupi awan, kemudian melalui kematian seluruh awan penghalang lenyap. Menyisakan perjalanan yang terang benderang.

Penulis : Guruji Gede Prama

Sumber : http://www.belkedamaian.org/kesembuhan/2011/02/09/guru-tantra-danghyang-dwijendra.html

#tantra #alchemy

Komentar

Postingan Populer