Refleksi di Bawah Langit Jingga
Refleksi di Bawah Langit Jingga
Di penghujung tahun, langit sering berubah menjadi jingga yang intens, seakan menumpahkan warna senja lebih lama dari biasanya. Langit seperti itu membuat kota terasa melambat, memberi ruang bagi siapa saja untuk berhenti dan berpikir. Arina duduk di sudut kafe kecil di pinggir jalan, secangkir teh mengepul di hadapannya. Meja di depannya sederhana, hanya ada jurnal usang dengan sampul yang mulai mengelupas dan pena hitam yang ujungnya sedikit patah.
Ia membuka jurnal itu dengan perlahan, membiarkan aroma teh bercampur dengan udara sore yang dingin. Tulisan di dalamnya adalah miliknya—huruf-huruf yang kadang rapi, kadang berantakan, mencatat mimpi-mimpi besar dan rencana ambisius yang ia buat di awal tahun. Sekarang, saat ia membaca ulang semuanya, ada perasaan campur aduk yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.
Beberapa mimpi yang tertulis terasa seperti bayangan samar, hampir tidak dikenali lagi. "Meningkatkan karier," tulisannya berbunyi. "Menabung untuk perjalanan ke luar negeri. Mulai hidup lebih sehat." Tapi kenyataan berkata lain. Pekerjaan sering kali membuatnya terjebak dalam rutinitas yang melelahkan, tabungannya malah habis untuk hal-hal darurat, dan olahraga? Itu hanya bertahan selama dua minggu di awal tahun.
Namun, tidak semuanya buruk. Di sela-sela kegagalan, Arina mendapati ada keberhasilan kecil yang sering ia lupakan. Ia pernah membantu seorang teman yang hampir menyerah pada hidupnya, mendengar tanpa menghakimi, dan menemani tanpa pamrih. Ia juga berhasil menyelesaikan buku yang sudah bertahun-tahun hanya menjadi penghuni rak. Dan meskipun suaranya gemetar, ia akhirnya berani berbicara di depan rapat besar, sesuatu yang dulu terasa mustahil.
“Mungkin ini yang disebut hidup,” pikirnya sambil tersenyum kecil. “Bukan tentang pencapaian besar, tapi bagaimana kita terus melangkah meski tertatih.”
Ia mengingat hari-hari di mana ia merasa benar-benar lelah, malam-malam tanpa tidur karena tekanan pekerjaan, dan momen-momen di mana ia merasa tidak cukup baik. Tapi ia juga mengingat tawa kecil yang tiba-tiba muncul di tengah kepenatan, secangkir kopi yang terasa lebih enak di pagi yang dingin, dan pelukan hangat dari ibunya saat ia pulang ke rumah.
Arina menutup jurnalnya sejenak dan menatap langit di luar jendela kafe. Warna jingga mulai berbaur dengan biru gelap, menandakan malam akan segera datang. Langit itu mengingatkannya pada satu pelajaran penting: tidak semua rencana harus sempurna, dan tidak semua janji harus terpenuhi. Kadang, yang terpenting adalah keberanian untuk mencoba, meski hasilnya tidak selalu sesuai harapan.
Ia membuka jurnalnya kembali, mengambil pena, dan mulai menulis:
"Tahun ini aku jatuh beberapa kali, tapi aku juga bangkit. Aku belajar bahwa hidup bukan soal berlari menuju garis akhir, melainkan menikmati perjalanan. Mungkin aku belum mencapai semua yang aku inginkan, tapi aku tahu aku sudah mencoba. Dan itu cukup."
Tulisan itu terasa seperti pelepasan. Tidak ada penyesalan, hanya penerimaan yang tulus. Ia menyadari bahwa refleksi seperti ini bukan tentang menghitung berapa banyak kegagalan atau keberhasilan, melainkan tentang menghargai setiap langkah yang telah diambil, sekecil apa pun itu.
Tehnya mulai dingin, tapi ia tidak peduli. Ada kehangatan lain yang ia rasakan, kehangatan yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Langit di luar semakin gelap, tetapi Arina merasa terang.
Ia menutup jurnalnya dengan lembut, meletakkan pena di atasnya, dan menarik napas panjang. Ada perasaan lega yang sulit dijelaskan, seperti baru saja melepas beban yang selama ini tidak ia sadari ada.
“Tahun depan,” gumamnya pelan, “aku akan mencoba lagi. Tapi kali ini, tanpa terlalu keras pada diriku sendiri.”
Ia mengambil cangkir teh itu, menyeruput sisa-sisanya, dan tersenyum. Di sudut kecil kafe itu, di bawah langit yang berganti warna, Arina menemukan sesuatu yang selama ini ia cari: damai.
Langit jingga hari itu bukan hanya tentang senja yang panjang, tetapi juga tentang momen untuk berhenti dan merenung. Arina tahu, tahun depan akan membawa tantangan baru, harapan baru, dan mungkin kegagalan baru. Tapi ia juga tahu bahwa ia akan terus melangkah, satu langkah kecil demi satu langkah kecil, seperti yang telah ia lakukan selama ini.
Hidup, pikirnya, bukan tentang seberapa jauh kita melangkah, tapi tentang bagaimana kita bertahan di setiap langkahnya. Dan di bawah langit yang terus berubah, ia merasa cukup menjadi manusia yang tidak sempurna, tapi terus berusaha.
Dengan hati yang lebih tenang, ia melangkah keluar dari kafe, meninggalkan malam yang baru saja mulai, membawa pelajaran dari masa lalu dan harapan untuk hari-hari yang akan datang.
Komentar
Posting Komentar