Berdamai dengan Bayangan
Biarkan masa lalu beristirahat,
seperti daun yang rela gugur agar rantingnya tak kehilangan ruang untuk hidup kembali.
Sebab tak semua yang jatuh berarti hilang —
ada yang jatuh untuk memberi tempat bagi sesuatu yang lebih tenang tumbuh.
Ada kesedihan yang tak perlu dijelaskan.
Ia bukan untuk diperdebatkan,
melainkan untuk didengar oleh sunyi,
disentuh oleh waktu,
dan dibiarkan larut bersama angin yang tahu kapan harus berhenti berhembus.
Di balik diam, ada hati yang perlahan belajar menatap bayangan sendiri —
bayangan yang dulu ingin dihapus,
namun akhirnya diterima sebagai bagian dari tubuh yang utuh.
Bukan untuk dikenang, tapi untuk dimengerti;
bukan untuk disesali, tapi untuk disembuhkan.
Berdamai bukan berarti tak lagi merasakan,
melainkan memahami bahwa rasa pun memiliki musimnya sendiri —
ada yang datang dengan hujan,
ada yang menetap seperti kabut pagi,
dan ada pula yang perlahan reda
tanpa pamit, tanpa dendam.
Pada akhirnya, kita berhenti bertanya “mengapa,”
karena tak semua luka lahir untuk dijawab.
Sebagian hanya ingin menunjukkan bahwa kita pernah hidup,
pernah terluka,
dan kini sedang belajar mencintai diri sendiri tanpa syarat.
Dan di dalam keheningan itu,
kita menemukan kekuatan yang tak perlu bersuara —
kekuatan yang lembut namun tegas,
yang mengajarkan bahwa berdamai bukan menyerah,
melainkan menerima, memahami, dan tumbuh
dari setiap retakan yang pernah kita sebut kesalahan.
Sebab dari sanalah cahaya masuk,
dan dari sanalah kita akhirnya tahu:
tidak ada yang benar-benar hilang —
hanya berubah bentuk menjadi kebijaksanaan yang diam-diam tinggal di dada.


Komentar
Posting Komentar