Hai, November
Ada bulan-bulan yang datang seperti tamu lama,mengetuk perlahan, membawa aroma rindu dan sedikit dingin yang belum sempat reda. November adalah salah satunya. Ia tak banyak bicara, hanya duduk di tepi jendela, membiarkan hujan berbicara atas nama waktu.
Aku selalu percaya, tak ada yang benar-benar selesai. Waktu hanya pandai menutup pintu dengan sopan, membiarkan kita berpura-pura tegar di depan hari yang baru. Sementara di dalam dada, masih ada gema dari Oktober doa yang belum sempat selesai, perasaan yang belum sepenuhnya pulih.
Langit menggantungkan mendungnya seperti pesan rahasia: bahwa setiap kehilangan punya maksud, setiap jeda punya arah. Kadang, kita memang harus berhenti sejenak,bukan karena kalah, tapi karena hati perlu napas untuk menata ulang harapannya sendiri.
Di jalan-jalan basah itu, langkah-langkah kecil masih mencari makna pulang. Ada yang berdoa sambil ragu, ada yang tertawa untuk menyembunyikan patah. Tapi bukankah begitu cara manusia bertahan? Menyembunyikan luka di balik rutinitas, menatap hari baru sambil pura-pura lupa semalam menangis.
Maka, November,izinkan aku masuk pelan-pelan.
Tanpa tergesa, tanpa ambisi untuk langsung bahagia.
Biar waktu mengajariku lagi cara bersyukur, bahkan pada kehilangan.
Biar hujan menuntunku memahami, bahwa pulih tak harus tergesa,
dan bahagia kadang hanya berarti: masih bisa melangkah hari ini.


Komentar
Posting Komentar