Mengapa Ibu Harus Bekerja?
Hujan turun deras sore itu. Di balik jendela rumah yang retaknya membentuk pola seperti akar pohon, aku duduk memeluk lutut. Seng di atas rumah kami sudah berkarat, bocor pula,menangkap setiap tetes hujan dan menjatuhkannya tepat di ember-ember penadah yang sudah separuh penuh. Di sudut meja, nasi sisa pagi tadi mulai menguning. Tak ada lauk. Tak ada suara, kecuali detak jam tua yang menggantung miring di dinding dan ritme hujan yang jatuh tak henti-henti.
Sudah pukul tujuh malam.
Tapi ibu belum juga pulang dari pekerjaannya sebagai buruh cuci.
Sejak pagi beliau pergi, membawa kantong plastik berisi sabun colek dan bekal nasi sisa semalam. Seperti biasa, ia pamit sambil tersenyum, mencium keningku, lalu melangkah pelan di jalanan becek yang tak pernah bersahabat dengan sandal jepit tuanya.
Perutku mulai keroncongan. Tapi rasa lapar tak lebih menusuk dari perasaan sepi yang membesar dalam dada. Aku ingin marah, ingin menangis, ingin bertanya:
"Kenapa Ibu harus kerja terus sih?"
Aku masih kelas lima SD. Ingin seperti teman-temanku yang dijemput ibunya saat hujan, yang punya uang jajan, yang tak pernah tahu rasanya menunggu pintu terbuka dalam gelap dan dingin.
Tapi itu bukan bagianku.
Ibuku adalah segalanya. Ia ayah, ibu, pelindung, pengasuh, dan penjaga malam. Ia berangkat ketika fajar masih menguap, pulang saat bulan menggigil di balik awan. Tangannya kasar, kakinya retak-retak seperti tanah musim kemarau, tubuhnya kurus seperti cerita rakyat yang tak selesai ditulis. Tapi setiap kali pulang, ia selalu membawa satu hal: senyum.
Akhirnya pintu kayu itu terbuka. Aku berdiri refleks. Hati kecilku berharap ibu membawa kejutan, sekadar tahu-tahu ada roti manis dari warung dekat lapangan.
Tapi yang kulihat membuat dadaku nyeri.
Ibu berdiri di ambang pintu, kuyup oleh hujan. Tubuhnya menggigil, matanya sayu, napasnya berat. Di tangannya, hanya ada plastik kecil berisi dua butir telur.
"Maaf ya, Nak... Ibu cuma bisa beli ini buat malam ini," katanya, masih dengan senyum yang sama.
Aku tak tahan. Air mata tumpah begitu saja. Entah dari lapar, kesepian, atau cinta yang mendadak meluap tanpa bisa dibendung.
“Kenapa Ibu harus kerja? Kenapa Ibu nggak di rumah aja kayak ibu temen-temenku? Kenapa nggak nemenin aku belajar, masak bareng, nonton bareng?”
Ibu menatapku lama. Lalu menunduk. Ia duduk di lantai yang basah, menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Dingin tubuhnya karena hujan, tapi pelukannya tetap hangat.
“Karena kalau Ibu nggak kerja, kamu nggak makan. Kalau Ibu nggak kerja, kamu nggak sekolah. Maaf ya, Nak. Ibu nggak bisa jadi seperti ibu-ibu yang lain. Tapi Ibu sayang kamu. Dan Ibu kerja... demi kamu.”
Aku menangis dalam diam. Bukan lagi karena marah, tapi karena mengerti. Walau hanya sebagian.
Seminggu kemudian, Ibu tak pulang kerja.
Orang-orang datang membawa kabar. Ibu pingsan saat mencuci, katanya demam tinggi. Di rumah sakit, tubuhnya terbaring lemah dengan infus di tangan yang biasa mengangkat ember-ember berat.
Aku duduk di sisi ranjangnya, menggenggam tangannya erat.
“Ibu… bangun ya. Aku janji akan jadi anak pintar. Aku janji nggak akan minta apa-apa lagi. Tapi jangan pergi. Aku belum siap.”
Ibu membuka matanya perlahan. Senyum samar itu muncul lagi.
“Nak... kamu sudah cukup kuat, ya? Ibu... tenang...”
Dan seperti pintu yang tertutup perlahan, matanya redup. Tangannya lemas. Mesin di sebelah tempat tidur berbunyi panjang.
Dunia runtuh.
Aku meraung dalam ruang putih itu. Mengguncang tubuh ibu. Tapi pelukannya tak kembali. Suaranya tak lagi memanggil.
---
Rumah kami menjadi sunyi. Sepi yang menggigit. Tak ada suara batuk di pagi hari. Tak ada aroma nasi goreng hangus. Tak ada decit sandal jepit yang menyapa subuh.
Aku sendiri. Tak punya siapa-siapa. Tetangga menolong sebisanya, tapi mereka juga terhimpit hidup. Aku memeluk baju ibu yang tergantung di belakang pintu. Bau keringatnya masih tertinggal. Bau yang dulu kuanggap biasa, kini menjadi doa.
Tapi hidup berjalan bahkan ketika aku belum siap.
Aku harus ke sekolah. Harus bertahan. Harus belajar hidup tanpa pelukan ibu di akhir hari. Di setiap sudut rumah ada jejaknya: sajadah yang masih terlipat, ember cucian yang sepi, sendok bengkok yang tak pernah ia buang.
Dan di lemari kecil kamar, aku menemukan kotak sepatu berisi kertas-kertas kecil:
"Uang untuk beli sepatu Dimas. Rp15.000 lagi."
"Tabungan untuk seragam baru. Simpan di bawah kasur."
"Dimas harus sekolah tinggi. Jangan seperti Ibu. Harus kerja di kantor, bukan di lantai rumah orang."
Tangisku pecah. Tapi tak lagi karena kehilangan. Tangisku kini seperti janji.
Aku mulai berjualan gorengan sepulang sekolah. Menabung. Belajar. Membayangkan ibu sedang menatapku dari langit-langit rumah yang bocor, menggumam: "Nak, kamu harus pintar, ya."
Tahun demi tahun berlalu. Luka itu tetap ada. Tapi luka yang tak kubiarkan membusuk. Luka itu kutanam dalam tanah, dan tumbuh menjadi semangat.
---
Hari ini, dua belas tahun kemudian, aku berdiri di podium kampus. Toga di kepala, ijazah di tangan. Namaku dipanggil, orang-orang bersorak. Tapi telingaku mencari satu suara: tepuk tangan Ibu.
Setelah wisuda, aku tak ke pesta. Tak ke hotel. Aku ke makam Ibu. Di bawah gerimis yang sama seperti malam itu, aku berdiri di depan batu nisan yang mulai diselimuti lumut.
Kutaruh ijazah di atasnya, lalu membungkuk dalam.
“Ibu... aku sudah sampai.”
Air mataku jatuh.
“Ibu lihat, kan? Aku lulus, Bu. Seperti yang Ibu mimpikan.”
Hening. Tapi hangat. Seperti pelukan itu kembali hadir, melingkupi tubuhku yang dulu kecil, kini dewasa, tapi tetap rindu.
Dan untuk terakhir kali, aku bisikkan:
“Terima kasih, Bu. Kini aku tahu... Mengapa Ibu Harus Bekerja.”
Komentar
Posting Komentar