Wajib Belajar

Di sudut dapur yang setia beraroma kayu bakar dan kecemasan, seorang ibu menghitung uang receh di dalam kaleng biskuit yang dulu pernah mewah. Di luar jendela, anaknya melompat-lompat kecil, memamerkan seragam putih biru bekas yang baru saja diwariskan tetangganya. “Bu, aku mau sekolah SMP nanti! Di seberang jalan itu!” katanya dengan cahaya di mata, yang bagi si ibu, terasa seperti matahari yang bersinar di tengah musim kemarau.

Tapi mata si ibu tak ikut bersinar. Ia redup. Matanya bukan tidak bangga, tapi diselubungi kabut pertanyaan yang selalu datang di bulan-bulan menjelang tahun ajaran baru: “Mampukah aku menyekolahkannya? Bahkan hanya menyeberang jalan?”

Di negeri ini, “wajib belajar sembilan tahun” adalah mantra yang sering dilafalkan pejabat dalam upacara dan baliho. Tapi seperti kebanyakan mantra, ia lebih sering bersifat simbolik. Ajaib di spanduk, tapi nihil di dapur rakyat. Di hadapan si ibu, sekolah bukan lagi tempat ilmu bercahaya. Tapi tempat pemungutan berjalan pelan-pelan, masuk lewat pintu komite, keluar lewat lembar kuitansi yang tak bisa ditawar.

Komite. Seragam. Buku paket. Ekstrakurikuler wajib. Kegiatan perpisahan yang tak pernah dirundingkan. Biaya pembangunan gedung yang katanya demi kenyamanan, meski lantai kelasnya masih dingin dan suara guru masih kalah dengan debur kipas angin.

Jika sekolah negeri adalah wajah negara, maka wajah itu kini mirip seorang pria tua yang sibuk menambal dompet bolongnya dengan cara meminta-minta kepada ibu-ibu di pinggiran kota. Ironisnya, yang dimintai itu bahkan belum tentu bisa membeli lauk dua kali sehari.

Konstitusi menyebut pendidikan dasar adalah tanggung jawab negara. Tapi di banyak kota, bunyi konstitusi kalah nyaring dibandingkan suara bendahara sekolah yang menagih “sumbangan wajib”. Undang-Undang berbicara tentang hak warga negara, tapi sistem pendidikan lebih suka berbicara dalam mata uang.

Di suatu kota yang ramai dan katanya maju, masih ada sekolah negeri yang memungut diam-diam. Lewat rapat komite yang lebih mirip formalitas, bukan demokrasi. Lewat instruksi yang dikemas dalam permintaan. Dan pemerintah? Entah tidak tahu atau pura-pura tidak mendengar.

Jika tidak tahu, maka itu kebodohan yang disengaja. Jika tahu tapi diam, maka itu kejahatan administratif yang tak kasat mata.

Tapi yang paling menyakitkan bukan soal uang. Yang paling merobek hati adalah saat seorang ibu harus menunduk malu, karena anaknya bertanya, “Kenapa Ibu belum beli buku PR-ku?” Dan si ibu tak bisa menjawab kecuali dengan senyum palsu dan janji palsu yang lain.

Wajib belajar akhirnya menjadi ironi—seperti patung pahlawan di taman kota yang diam menyaksikan anak-anak melewatkan sekolah demi membantu ibunya berjualan canang. Seperti lagu nasional yang diputar setiap hari Senin, tapi tak pernah menyentuh relung kebijakan.

Negara tidak boleh sekadar hadir lewat slogan. Negara adalah tindakan. Negara adalah jaminan bahwa setiap anak bisa belajar tanpa membuat orang tuanya harus berutang pada rentenir atau membatalkan makan malam.

Jika satu anak gagal sekolah karena sistem ini, maka itu bukan kegagalan anak itu. Itu kegagalan kolektif. Gagalnya pemerintah yang hanya hadir di spanduk. Gagalnya dewan yang hanya hadir saat masa kampanye. Gagalnya kita semua yang diam, dan membiarkan pendidikan menjadi pasar.

Dan di tengah semua itu, seorang ibu di dapur kecilnya, masih menghitung receh. Bukan untuk membeli emas, bukan untuk pergi ke mal. Tapi sekadar untuk memungut mimpi yang seharusnya gratis—karena katanya, ini zaman wajib belajar.

Tapi entah kenapa, “belajar” kini lebih terasa seperti “membayar.”



Komentar

Postingan Populer