Percakapan Bayi Kembar

Bagaimana bila hal ini juga terjadi?

Dalam senyap paling purba, dalam kegelapan yang bahkan cahaya belum sempat membayangkannya, dua janin kembar berdialog—bukan dengan mulut, tapi dengan kesadaran yang belum ternama.


Yang satu berkata lirih, seolah menyimpan keyakinan yang tidak diwariskan oleh logika,

"Aku yakin, ada kehidupan setelah kelahiran. Dunia luas tempat kita bisa berjalan, tertawa, dan menatap langit biru. Ada cahaya, ada suara yang tidak hanya gema, ada waktu yang mengalir seperti sungai."


Bayi yang lain menghela diam. Ia menggeleng, seperti debu menolak angin.

"Kau terlalu banyak berharap dari kegelapan ini. Dunia yang kau bayangkan hanyalah dongeng untuk membuat kita tenang menghadapi akhir. Lahir itu berarti mati bagi dunia ini. Setelah ini, tidak ada apa-apa."


Tapi si pertama tetap teguh, seperti embun yang percaya pada pagi.

"Akan ada yang merawat kita… dia disebut Ibu. Dia yang membuat kita hidup, dia yang detaknya menjadi musik pertama yang kita dengar. Dia yang menunggu kita keluar bukan sebagai akhir, tapi sebagai awal."


Dan si kedua tertawa, getir. Tertawa seperti sunyi yang pura-pura tahu segalanya.

"Ibu? Ah, mitos. Kalau dia ada, kenapa kita tak bisa melihatnya? Kenapa kita terkurung di sini sendirian? Jangan berharap pada sosok yang tak bisa dibuktikan keberadaannya."


Tapi sang bayi pertama menutup matanya yang belum pernah terbuka, meraba sesuatu yang tak bisa dijelaskan:

getar lembut di dinding rahim, irama hangat yang bukan berasal dari dirinya sendiri,

denyut kasih yang tidak terlihat tapi terasa.


Mungkin begitulah kita hari ini, manusia yang masih berada dalam ‘rahim’ keberadaan,

berdebat tentang hidup setelah mati, tentang Tuhan, tentang cinta yang tidak tampak tapi menyentuh.


Dan barangkali, seperti sang bayi pertama,

kita tidak butuh melihat untuk percaya,

cukup merasakannya dari dalam—

bahwa ada kasih yang lebih dulu mencintai,

sebelum kita mengerti makna cinta itu sendiri.



Komentar

Postingan Populer