Reformasi yang Ditelan Oligarki

Hari itu, langit tampak murung seperti ikut menunduk menyaksikan sejarah yang berbalik arah. Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak Soeharto meletakkan jabatannya. Ia yang selama tiga dasawarsa menjadi bayang-bayang di setiap pojok kehidupan warga, akhirnya mundur dengan suara yang berat dan wajah yang letih. Tapi sejarah tidak pernah hanya soal runtuhnya satu nama. Di balik pengunduran itu, tersimpan luka, amarah, dan jejak-jejak yang belum pulih hingga kini.

Saya masih ingat suasananya. Bukan hanya berita di koran atau siaran di televisi, tapi udara itu sendiri terasa lain. Sebuah masa di mana ketakutan tidak lagi sembunyi-sembunyi, melainkan menjelma kerusuhan yang menyala di jalan-jalan. Tahun-tahun menjelang keruntuhan Orde Baru, suasana kebatinan bangsa ini seperti simpul yang kian mengencang. Rumah-rumah ibadah dibakar. Minoritas menjadi sasaran kemarahan yang diarahkan, entah oleh siapa, entah untuk tujuan apa. Dan kita hanya bisa menunduk sambil bertanya: sejak kapan tempat berdoa menjadi titik awal sebuah dendam?

Ada kecurigaan yang tak terucapkan namun menggantung di udara. Bahwa kerusuhan-kerusuhan itu bukan semata-mata lahir dari amarah rakyat, melainkan didesain. Disusun seperti sandiwara politik yang menuntut korban agar kekuasaan tetap bisa dinegosiasikan di ruang-ruang tertutup. Tak sedikit akademisi menyebutnya sebagai “politisasi kekacauan”. Di titik itu, Indonesia tak hanya sedang bergejolak secara sosial, tapi juga sedang dikooptasi oleh kekuatan dalam tubuh militer yang saling berebut pengaruh.

Ya, Orde Baru tidak runtuh karena dihantam dari luar, tapi karena lapuk dari dalam. Korupsi merajalela, ekonomi runtuh, dan legitimasi kekuasaan tak lagi bisa dipertahankan. Tapi bahkan saat ia tumbang, sistemnya tetap hidup. Simpul-simpul oligarki yang dibesarkan oleh Soeharto tidak ikut jatuh bersamanya. Mereka sekadar menyesuaikan wajah, belajar tersenyum di depan kamera, menyebut diri “reformis”, dan melanjutkan penghisapan dengan cara yang lebih halus.

Di tengah kebangkrutan ekonomi dan ketidakpastian politik, krisis identitas bangsa menjelma menjadi kemarahan sosial. Tapi seperti biasa, sasaran empuk adalah mereka yang paling lemah: warga keturunan Tionghoa. Mereka dijadikan simbol ketimpangan, seolah-olah persoalan ekonomi nasional dapat diselesaikan dengan membakar toko kelontong. Padahal mereka sendiri korban dari sistem yang selama ini hanya memperalat mereka sebagai perantara modal dan kekuasaan.

Kerusuhan Mei 1998 bukan hanya tragedi sosial, tetapi juga kebangkrutan moral. Perempuan-perempuan diperkosa, warga dibakar hidup-hidup, dan sampai hari ini, tak satu pun aktor intelektualnya benar-benar diadili. Laporan Komnas HAM mengendap. Lembaga-lembaga negara diam. Demokrasi menjanjikan keterbukaan, tetapi nyatanya ia melahirkan kekebalan. Hukum seperti lentur, bisa dipelintir oleh mereka yang memiliki uang dan koneksi.

Lalu kita menyebutnya “Reformasi”. Kata yang kini terasa getir, nyaris seperti lelucon yang kehilangan punchline. Apa yang benar-benar berubah? Memang, kita punya pemilu yang lebih terbuka, parlemen yang lebih beragam, dan media yang lebih bebas. Tapi di balik itu, struktur lama tetap mengakar. Militer mungkin tak lagi duduk resmi di DPR, tapi kini mereka masuk ke partai politik, memegang jabatan sipil, dan menempati posisi-posisi strategis dalam bisnis negara.

Oligarki hari ini tak lagi berseragam hijau loreng. Mereka mengenakan jas mahal, tampil dalam podcast, punya saham media, dan menggenggam partai politik. Kekuasaan tak lagi tunggal seperti masa Soeharto, tapi tersebar di tangan segelintir konglomerat yang punya cukup modal untuk menentukan siapa yang menang dalam pemilu. Demokrasi berubah menjadi pasar suara, dan suara rakyat dijual seperti komoditas dalam musim kampanye.

Reformasi yang dulu diperjuangkan dengan darah mahasiswa kini menjadi panggung pragmatisme. Mereka yang dulu meneriakkan perubahan, kini duduk nyaman di kursi empuk, menandatangani kebijakan yang bertolak belakang dengan cita-cita 1998. Kampus-kampus yang dulu menjadi bara intelektual, kini menjelma menara gading yang menjual ijazah sebagai tiket masuk ke dunia kerja. Sementara jutaan anak muda menganggur, terpinggirkan dari narasi besar bangsa yang katanya “tengah maju”.

Di sinilah tragedi itu benar-benar terasa. Reformasi yang lahir dari idealisme dan keberanian, kini ditelan oleh kompromi dan kepentingan. Kita menyangka telah menumbangkan otoritarianisme, padahal hanya memindahkan pusat kuasanya. Kita kira telah menyuarakan kebebasan, padahal yang tumbuh adalah kebebasan pasar tanpa kendali, yang memperkaya yang sudah kaya dan menyingkirkan yang kecil.

Rakyat tetap menjadi penonton. Mereka yang dahulu mengantarkan perubahan dengan nyawa dan air mata, kini menonton layar kaca, menyaksikan politisi berdebat soal hal-hal remeh, sementara harga bahan pokok terus naik dan kesempatan hidup layak kian menjauh. Demokrasi kehilangan jiwanya—ia tetap hidup secara prosedural, tapi kosong secara substansial.

Ironisnya, banyak dari kita mulai kehilangan harapan. Anak-anak muda kini lebih percaya pada influencer daripada partai politik. Mereka tidak apatis, hanya lelah. Lelah melihat mimpi-mimpi kolektif dikhianati oleh mereka yang mengaku sebagai pejuangnya. Lelah menonton perubahan yang dijanjikan hanya berakhir pada revisi undang-undang yang melanggengkan kekuasaan.

Mungkin inilah wajah Reformasi yang sesungguhnya: bukan revolusi rakyat, tapi transformasi elite. Sebuah transisi yang tak menumbangkan piramida, tapi hanya mengganti penghuninya. Yang kaya bertambah kuasa, yang miskin tetap menggigil di bawah, dan yang marah… hanya dijadikan bahan kampanye.

Jika sejarah adalah cermin, maka saat ini kita sedang menatap wajah kita sendiri dengan malu. Kita menyaksikan impian yang dulu dikibarkan tinggi kini digulung pelan-pelan, diganti dengan spanduk iklan, baliho politik, dan pidato-pidato yang kehilangan makna. Dan di tengah semua itu, satu pertanyaan terus menggema:

Apakah yang benar-benar tumbang pada 21 Mei 1998 itu adalah Soeharto, atau hanya topeng yang dikenakannya?



Komentar

Postingan Populer