Lomba 17 Agustus

 

Di bawah langit biru yang mendungnya hanya selewat, hari itu tanggal 17 Agustus. Sebuah hari yang diisi dengan semangat kemerdekaan, di mana orang-orang berkumpul, tertawa, dan berkompetisi dalam serangkaian lomba yang aneh tapi akrab. Tapi, di tengah keramaian itu, Aku merasa terasing, seperti tokoh dalam novel yang tersesat di tengah plot yang tak dipahami.

 

Lomba makan pisang. Aku berdiri di antara kerumunan, menyaksikan pisang digantung di tali seperti kenangan masa kecil yang samar. Namun, ada sesuatu yang mengganggu, seperti nada sumbang dalam melodi yang familiar. Panitia tiba-tiba muncul, membawa kaleng Susu Kental Manis, dan tanpa aba-aba, pisang itu dicelupkan ke dalam cairan putih pekat. Tawa meledak dari mulut para peserta, terutama ibu-ibu yang tampak begitu menikmati absurdnya situasi ini. Tapi, di kepalaku, tawa itu bergema seperti suara hampa di ruangan kosong.

 

Aku mencoba mencerna maknanya. Apa yang lucu dari pisang yang dicelupkan dalam susu? Mungkin, Aku yang sudah terlalu jauh berpikir, terlalu banyak membaca buku yang membuat imajinasiku tersesat di belantara makna. Atau mungkin, ada semacam ketidaksesuaian antara tindakan dan konteks yang membuat semuanya tampak aneh dan sedikit menjijikkan.

 

Kemudian, ada lomba memasukkan sesuatu. Tapi ini bukan lomba masa kecil yang sederhana, seperti memasukkan pensil ke dalam botol. Tidak, ini jauh lebih rumit, seperti mimpi yang berubah menjadi labirin tanpa pintu keluar. Laki-laki dewasa dengan terong tergantung di pinggangnya, dan wanita dengan gelas diikat di depan tubuhnya. Gerakan mereka, yang seharusnya membawa tawa, malah terasa seperti gerakan para aktor dalam teater absurd, di mana makna terurai menjadi kebingungan.

 

Dan akhirnya, ada lomba memecahkan balon. Pasangan laki-laki dan perempuan dewasa, dengan balon yang ditempatkan tepat di depan kelamin. Awalnya mungkin terlihat lucu, seperti guyonan ringan di antara teman-teman. Tapi lama-lama, semakin Aku perhatikan, semakin saya merasa bahwa sesuatu telah hilang dari makna lomba itu. Kenapa tidak menempatkan balon di kursi, di punggung, atau di tempat lain yang lebih netral?

 

Saat itu, Aku merasa seperti sedang menyaksikan suatu adegan dalam mimpi yang tak sepenuhnya bisa Aku pahami, di mana simbol-simbol kehilangan makna mereka dan hanya meninggalkan rasa tidak nyaman. Kenapa kita tertawa pada hal-hal yang seharusnya membuat kita bertanya-tanya tentang makna di baliknya? Atau mungkin, dalam tawa itulah kita berusaha menghindar dari pertanyaan-pertanyaan yang terlalu berat untuk dijawab.

 

Di bawah langit 17 Agustus itu, Aku bertanya-tanya apakah kemerdekaan yang kita rayakan ini telah memberi kita kebebasan yang sesungguhnya, atau justru membuat kita terperangkap dalam kebiasaan dan ritus yang tak kita pahami lagi. Mungkin, seperti halnya dalam novel-novel Kafka, kita semua hanya sedang menjalani peran-peran yang diberikan oleh tangan tak terlihat, di mana makna dan tujuan sering kali kabur, dan kita hanya bisa terus berjalan tanpa tahu arah yang pasti.

 

Dalam hati, Aku berharap lomba-lomba itu bisa kembali ke bentuknya yang sederhana, seperti masa kecil yang polos dan penuh harapan. Karena dalam kesederhanaan itulah, mungkin, kita bisa menemukan kembali makna yang hilang di antara tawa yang kosong dan tindakan yang absurd.


 

Komentar

Postingan Populer