Surat Rahasia Ibu

Di suatu senja yang sepi, ketika bayangan pohon-pohon mulai memanjang dan suara angin membawa bisikan yang tak terbaca, aku menemukan sebuah surat dari ibu. Surat itu terselip di antara buku-buku lama yang sudah lama tak kusentuh, seperti harta karun yang sengaja disembunyikan oleh waktu. Tulisan tangannya yang kukenal sejak kecil, masih sama, rapi dan penuh kasih, seolah setiap huruf diukir dengan hati-hati di atas kertas.

“Kapanpun kau merasa jenuh akan kehidupan yang kau jalani sekarang, pulanglah, Nak… Ibumu selalu setia menunggu di rumah.”

Kalimat itu terasa seperti angin lembut yang membelai wajahku, membawa aroma rumah yang selama ini terasa jauh, hampir terlupakan di tengah hiruk-pikuk kota. Ibu selalu tahu kapan harus menulis, kapan harus mengingatkan dengan caranya yang lembut, tanpa pernah memaksa.

“Kapan kau merasa lelah karena mengejar apa yang tak juga kunjung kau dapatkan, pulanglah, Nak… Ibu masih menyimpan rempah-rempah yang akan memulihkan kesehatanmu.”

Aku ingat bagaimana ibu selalu meracik ramuan dari rempah-rempah ketika aku sakit waktu kecil. Rasanya hangat, menenangkan, seperti pelukan yang menjalar dari tenggorokan hingga ke dalam dada. Di tengah segala kemewahan dan kemegahan yang kutemui di kota, rasa itu tak pernah bisa tergantikan.

“Kapanpun kau merasa sudah cukup bermain, pulanglah, Nak… Ibu ingin melihat dan mendengar seberapa dewasanya anak ibu.”

Waktu terus berjalan, dan aku terus melangkah, mencoba menjauh dari bayangan rumah. Tapi, di setiap langkah, ada sesuatu yang tertinggal, sesuatu yang hilang tanpa aku sadari. Mungkin itulah yang dimaksud ibu dengan “dewasa”—bukan sekadar tentang usia atau pencapaian, tetapi tentang mengerti apa yang hilang di tengah pencarian yang tiada henti.

“Kapanpun kau merasa tidak menemukan hasil dari apapun yang kau kerjakan, pulanglah, Nak… Ibumu masih menyimpan banyak hal yang takkan habis kau nikmati sampai anak cucumu.”

Aku menutup mata sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap dalam keheningan. Di rumah, ada kebijaksanaan yang tersembunyi di balik hal-hal sederhana—seperti cara ibu merapikan kain, memasak dengan penuh cinta, atau bahkan saat beliau berdoa dalam kesunyian. Kebijaksanaan itu tak pernah menghilang, hanya menunggu untuk ditemukan kembali.

“Dan kapanpun kau merasa hatimu kosong dari semua ritual yang telah kau yakini dan lakoni, maka pulanglah, Nak… pulanglah, Ibu akan menceritakan kepadamu jalan pulang.”

Ibu tahu, aku sering merasa hampa, meski telah melakukan segala ritual, mengikuti segala aturan yang diajarkan oleh dunia ini. Tapi, di balik semua itu, selalu ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun. Mungkin itulah yang dimaksud ibu dengan "jalan pulang"—jalan kembali ke asal, ke rumah, ke tempat di mana segalanya dimulai dan akan berakhir.

“Kau boleh membenci kekunoan yang kau warisi dan memilih memuja kekinian, namun kau tidak boleh meninggalkan apa yang menjadi jiwa atau roh dari yang tua ini. Tradisi dan budayamu lebih tua ketimbang semua agama di dunia. Jangan sampai kau kehilangan dirimu sendiri akibat kau kehilangan apa yang ada dalam jiwamu.”

Aku pernah merasa tradisi adalah sesuatu yang usang, tak relevan dengan dunia yang terus berubah. Tapi, dalam hati kecilku, aku tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebiasaan. Ada roh, ada jiwa yang hidup dalam tradisi itu, yang mengalir melalui darah dan melekat pada tanah yang menginjak. Aku tak bisa benar-benar meninggalkannya, karena itulah yang membuatku tetap berdiri.

“Tradisi ini memang terlihat usang dan tak berguna, namun dalam tradisi ini tersimpan ajaran agung yang tak tertulis, namun kedamaiannya akan selalu terlihat nyata tanpa pernah tersampaikan oleh kata-kata.”

Di dalam kota yang berkilauan, aku sering merasa terasing, meski dikelilingi oleh banyak orang. Ada ketenangan yang tidak bisa diberikan oleh apapun selain keheningan rumah dan tradisi yang mengalir di dalamnya. Kedamaian itu nyata, lebih nyata daripada segala yang pernah kulihat atau kudengar.

“Hampir semua hal-hal baik dan bijak dalam kitab itu sudah melebur dalam tradisi dan budayamu, Anakku.”

Aku teringat pada doa-doa yang ibu ajarkan, yang diselipkan dalam nyanyian, dalam cerita-cerita lama yang penuh dengan makna terselubung. Ibu tidak pernah mengajariku dengan kata-kata yang rumit, tapi dalam setiap tindakan dan gerakan, aku melihat ajaran yang lebih dalam dari apapun yang bisa kutemukan di luar sana.

“Nak… kapan pun ketika kau sudah tidak bisa menikmati kebahagiaan yang disajikan oleh kemewahan dan kemegahan, maka pulanglah ke tradisi dan budayamu. Di situ kau akan menemukan sesuatu yang melampaui kebahagiaan, yaitu keindahan dan KEDAMAIAN.”

Dalam segala yang gemerlap, aku sering merasa kehilangan arah. Namun, kata-kata ibu mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pencapaian duniawi. Ada keindahan dalam kesederhanaan, dalam tradisi yang telah ada sebelum kita, yang akan terus ada setelah kita.

“Ketika hidup sudah terlalu jauh melangkah, maka kembalilah ke titik nol kehidupan. Sadar akan yang paling dasar, sadar akan apa yang menjadi dasarnya hidup.”

Aku terdiam, memandangi surat itu untuk waktu yang lama. Ibu benar, dalam segala pencarian, kita sering melupakan apa yang paling dasar, apa yang paling penting. Ketika segalanya terasa terlalu rumit, mungkin yang terbaik adalah kembali ke awal—kembali ke rumah, kembali ke tempat di mana semuanya dimulai.

Di bawah langit senja yang perlahan memudar, aku merasa sesuatu yang berat di hatiku mulai terangkat. Mungkin sudah saatnya aku pulang. Bukan karena aku menyerah, tapi karena aku ingin menemukan kembali apa yang telah hilang di tengah perjalanan ini—kedamaian yang sejati, yang hanya bisa kutemukan di tempat yang selalu menungguku.

Aku menutup surat itu dengan hati yang lebih ringan, dan dengan langkah yang pasti, aku tahu ke mana harus pergi. Ibu benar, rumah selalu ada, selalu menunggu, seperti fajar yang tak pernah gagal menyapa dunia setiap pagi.


 

Komentar

Postingan Populer