Maaf..

 

Hujan deras membungkus malam dengan keheningan yang tak terduga. Di kafe kecil yang hampir sepi, kita duduk berhadapan, terpisah oleh meja kayu yang penuh dengan bekas goresan waktu. Waktu yang begitu cepat berlalu, sementara kita, dua jiwa yang pernah begitu dekat, kini seperti asing di antara riuhnya kesibukan yang tak pernah mau mengalah.

"Maaf terlambat datang, hujan deras," katamu sambil melepas mantel yang basah kuyup. Suaramu, meski ramah, mengandung nada lelah yang tidak bisa sepenuhnya kau sembunyikan. Aku menatapmu, mencoba menangkap sorot matamu yang kini tampak jauh, seperti ada jarak tak kasatmata yang tercipta dari hari-hari yang tak lagi kita habiskan bersama.

"Tidak apa-apa," jawabku, berusaha terdengar ringan. "Aku senang kau bisa datang."

Namun di balik kalimat itu, tersimpan rasa pahit yang selama ini kusimpan sendiri—rasa kehilangan akan kebersamaan kita yang perlahan memudar. Kita jarang bertemu, bahkan komunikasi kita mulai terasa seperti kewajiban, bukan lagi kebutuhan. Kesibukanmu dan kesibukanku telah menciptakan jurang yang dalam, yang semakin sulit dijembatani.

Kau tersenyum kecil, tapi senyummu tak sehangat dulu. "Maaf, aku terlalu sibuk akhir-akhir ini," katamu, kali ini dengan nada yang lebih serius. "Aku tahu, kita jarang bertemu, jarang bicara... Aku merasa bersalah."

Aku mengangguk, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Aku mengerti," jawabku perlahan. "Hidup kita sekarang berbeda. Ada banyak hal yang harus kita lakukan, banyak tuntutan yang harus kita penuhi. Tapi... rasanya seperti ada yang hilang, bukan?"

Kau menatapku, dan dalam sekejap aku melihat ada kesedihan di matamu. "Iya," bisikmu pelan. "Aku juga merasakannya. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Waktu kita sudah bukan milik kita lagi."

"Maaf," kataku, hampir tanpa sadar. "Maaf karena aku merasa kita kehilangan sesuatu yang dulu begitu berharga. Maaf karena aku juga sibuk dan tak bisa mempertahankan apa yang pernah kita miliki."

Kau terdiam, memandangi cangkir kopi yang ada di hadapanmu, seolah mencari jawaban di dalamnya. Hujan di luar semakin deras, mengiringi keheningan yang tiba-tiba menyelimuti kita. "Kadang aku berpikir," katamu akhirnya, suaramu hampir tenggelam oleh suara hujan, "apakah semua ini layak? Kita mengejar begitu banyak hal, tapi mengorbankan sesuatu yang sebenarnya sangat penting."

Aku tidak menjawab, karena aku tahu, jawaban itu ada di dalam hatimu, sama seperti di hatiku. Kita berdua tahu bahwa kesibukan ini adalah pilihan, tapi juga sebuah pelarian. Kita memilih untuk sibuk, mungkin karena takut menghadapi kenyataan bahwa ada jarak yang tumbuh di antara kita, jarak yang tidak bisa diukur oleh waktu atau tempat.

"Maaf," katamu lagi, kali ini dengan nada yang begitu tulus, begitu dalam. "Maaf karena aku tidak bisa menjadi seperti dulu. Dan maaf jika aku membiarkan jarak ini semakin lebar."

Aku tersenyum pahit, menahan perasaan yang selama ini kubungkus rapat. "Tidak ada yang perlu dimaafkan," kataku, meskipun aku tahu itu hanya setengah kebenaran. "Kita hanya manusia biasa, yang kadang tersesat dalam kehidupan yang begitu rumit."

Kau mengangguk, tapi kali ini tanpa kata. Hanya ada keheningan di antara kita, keheningan yang penuh dengan penyesalan dan kesadaran bahwa mungkin kita tak lagi bisa kembali seperti dulu. Mungkin kata maaf memang bisa meluluhkan hati, tapi tidak selalu bisa menghapus jarak yang telah tercipta.

Hujan semakin deras, seperti mencoba menutupi rasa sakit yang perlahan menggerogoti hatiku. "Maaf, tidak bisa buat teh karena gas habis," katamu akhirnya, mencoba mengalihkan topik pembicaraan dengan cara yang begitu canggung.

Aku tertawa kecil, meskipun dalam hatiku, aku tahu bahwa hujan ini takkan mampu membasuh semua rasa yang tersisa. Dan meskipun kita saling meminta maaf, aku sadar bahwa mungkin, hanya waktu yang bisa menyembuhkan kita—jika itu pun masih mungkin.


 

Komentar

Postingan Populer