Diari
Diari
Dulu, menulis buku harian adalah kegiatan sakral. Setiap kalimat ditulis dengan hati-hati, seolah ada perjanjian diam-diam antara penulis dan kertas. Isinya bisa soal cinta rahasia, kekesalan pada guru matematika, atau harapan sederhana agar hujan turun pas pelajaran olahraga.
Buku itu disimpan rapat, dikunci, dan kadang disembunyikan di balik tumpukan baju dalam lemari. Tak sembarang mata boleh membaca. Kalau sampai ada teman yang iseng membukanya diam-diam, bisa langsung dicoret dari daftar sahabat.
Kini, zaman bergeser. Buku harian digantikan linimasa. Orang-orang menulis isi hatinya bukan lagi untuk disimpan, tapi untuk diumbar. Bukan untuk disembunyikan, tapi justru untuk dikonsumsi. Kata-kata yang dulu ditulis dalam gelap kamar, kini diketik dengan semangat diiringi harapan: semoga viral.
Menariknya, jika dulu marah karena tulisannya dibaca orang, sekarang justru kecewa kalau tidak ada yang membaca. Kalau dulu rahasia dijaga mati-matian, sekarang kalau rahasia tidak mendapat "suka","komen" dan "bagikan" malah merasa tak dianggap.
Mungkin inilah yang disebut perkembangan zaman. Dulu malu dilihat, sekarang malu kalau tidak dilihat. Dulu tulisan adalah tempat bersembunyi, sekarang jadi panggung untuk tampil. Mungkin kita tak lagi butuh kunci kecil di buku harian, tapi butuh validasi besar dari orang asing yang bahkan tak tahu nama tengah kita.
Fenomena ini bukan tentang salah atau benar.
Hanya soal pilihan: ingin dikenang sebagai pemilik rahasia, atau perajin curhat digital yang menunggu notifikasi dari semesta.
#Diari #Catatan #Wista #Hari
#Buku #Sedunia #Book
Komentar
Posting Komentar