Masih di tempat yang sama
Kadang-kadang, saat malam terlalu sunyi bahkan untuk menampung dengkuran jam dinding, aku masih membuka jendela ke dalam kepala sendiri. Di sana kau duduk, sama seperti dulu—menyender pada dinding kenangan yang tak pernah selesai dicat ulang.
Bau hujan masih sama. Dan entah kenapa, selalu membawaku ke halaman rumah yang tak lagi kita kunjungi, tempat pertama kali kau bilang, “Kita ini seperti daun dan angin. Bertemu, tapi tak pernah tinggal.”
Aku tak marah. Bagaimana bisa? Aku pun belajar menjadi angin—mengantarmu sejauh mungkin, tanpa pernah berharap kau kembali sebagai daun yang jatuh ke pangkuanku.
Sejak itu, aku menyimpannya. Bukan kau—tapi versi dirimu yang pernah membuat pagi terasa utuh, bahkan sebelum kopi diseduh. Kusimpan di rak paling atas, di antara buku-buku yang aku baca ulang hanya untuk memastikan: kau memang pernah ada.
Aku masih mengingat caramu tertawa saat berbicara tentang rindu, seolah-olah itu cuma lelucon ringan yang bisa ditertawakan lalu dibiarkan menguap. Tapi bagiku, rindu adalah kemeja tua yang tetap kusimpan di lemari, meski ukurannya sudah tak lagi pas.
Beberapa orang pergi dengan dramatis—meninggalkan pintu terbuka atau surat pamit yang ditinggal di meja makan. Tapi kau tidak. Kau pergi seperti lagu terakhir yang diputar di ruang tamu: pelan, tak kentara, tapi membuat sunyi jadi permanen.
Dan begitulah, aku masih menyimpanmu di tempat yang sama. Di antara jeda. Di antara puisi yang tak selesai. Di antara "apa kabar" yang tak pernah dikirim, karena kita tahu, beberapa pertanyaan hanya perlu dijaga, bukan dijawab.
Kau tahu? Kadang cinta tak perlu dirayakan, cukup dikenang. Cukup diberi tempat, agar tak hilang. Maka aku biarkan kamu tetap di sana, di tempat yang sama. Tak berpindah, tak berubah.
Seperti perasaan yang tak pernah selesai ditulis.
Komentar
Posting Komentar