Kartini Era Digital
Jika Kartini hidup hari ini, ia mungkin tidak lagi menulis surat panjang di balik jendela. Ia akan duduk di sudut kafe yang remang, dengan secangkir kopi robusta dan laptop yang baterainya tinggal dua belas persen. Di depan layar yang menyala, ia mengetik utas tentang keadilan gender. Bukan lagi dengan pena dan kertas, tapi dengan tanda pagar dan algoritma.
Tapi, tunggu dulu.
Mungkin ia juga tetap akan menulis surat. Hanya saja, surat itu dikirim bukan ke Eropa, melainkan ke dirinya sendiri. Sebuah surat digital yang ia simpan dalam folder bernama "Jangan Pernah Menyerah", ditulis saat malam sedang sepi dan dunia terlalu gaduh.
Di balik segala teknologi, Kartini tetap seorang manusia yang resah. Dan keresahan itu, jika tidak disalurkan, bisa menjelma menjadi kabut tebal di dalam dada. Seperti kabut di pagi hari yang menyembunyikan jalan setapak menuju gunung. Tapi ia tahu, di balik kabut itu, ada terang yang menanti.
Kartini adalah simbol. Tapi simbol bukan berarti beku. Ia adalah entitas yang hidup. Bergerak. Berlipat ganda. Menjelma.
Kadang ia hadir dalam ibu-ibu yang mengajar membaca di bawah pohon jambu. Kadang dalam remaja yang menolak menikah muda karena ingin kuliah teknik. Kadang dalam penyair perempuan yang menulis tentang tubuh dan trauma, dengan puisi yang pedih seperti musim gugur di Tokyo.
Kartini bukan hanya tentang perempuan yang melawan. Tapi juga tentang perempuan yang bertahan. Tentang perempuan yang setiap harinya harus memilih—antara dirinya atau harapan orang lain.
Suatu kali, saya membayangkan Kartini duduk di trotoar Jakarta. Ia memandangi keramaian lalu lintas, dan dalam kepalanya, pertanyaan-pertanyaan tua kembali bangkit.
“Kenapa perempuan masih harus minta izin untuk bermimpi?”
“Kenapa suara perempuan masih dianggap terlalu nyaring jika bicara kebenaran?”
“Dan kenapa diam perempuan masih dianggap kelemahan, padahal kadang itu adalah kekuatan bertahan yang paling tangguh?”
Kartini mungkin akan membuka podcast berjudul "Sunyi yang Bersuara". Episode pertamanya: “Habis Gelap, Jangan Tunggu Fajar”.
Di sana ia bicara tentang tekanan menjadi sempurna. Tentang standar ganda yang mencekik. Tentang luka-luka yang disembunyikan di balik senyum. Tentang dapur yang bersih, anak yang kenyang, skripsi yang selesai, dan kepala yang nyaris meledak.
Sebab menjadi perempuan hari ini, seperti berjalan di tali tambang yang ditarik oleh ekspektasi dari segala arah.
Gaya hidup digital menciptakan medan baru untuk emansipasi. Tapi ia juga menciptakan ilusi. Perempuan dianggap bebas karena bisa bersuara di media sosial. Tapi apakah suara itu benar-benar didengar, atau sekadar menjadi notifikasi yang di-swipe?
Kartini mungkin akan menulis status:
"Aku ingin bebas. Bukan hanya dari penjara fisik, tapi dari rasa bersalah karena memilih jalan hidup sendiri."
Dan mungkin status itu akan di-like oleh ribuan orang. Tapi ia tahu, kebebasan sejati tak bisa diukur oleh jumlah like. Karena ia bukan tentang validasi, tapi keberanian untuk tetap utuh di tengah dunia yang ingin memecahmu menjadi peran-peran.
Kartini hidup dalam dunia yang keduanya. Di satu sisi, dunia ini sangat maju—kita bisa video call ke belahan bumi lain. Tapi di sisi lain, masih ada perempuan yang dipaksa menikah karena orang tuanya “malu punya anak perempuan belum menikah di usia 23”.
Ia terjebak antara mesin pencari Google dan takhayul keluarga. Antara tagar #GirlBoss dan nenek yang berkata, “perempuan itu sebaiknya jangan terlalu pintar, nanti susah dapat jodoh.”
Di sinilah Kartini berdiri. Bukan hanya sebagai simbol perubahan, tapi juga sebagai penunjuk arah dalam hutan patriarki yang tak kunjung selesai ditebangi.
Kartini tidak ingin perempuan menjadi laki-laki. Ia tidak sedang memperjuangkan persamaan peran, tapi persamaan pilihan.
Bahwa perempuan boleh memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dengan bahagia. Bahwa perempuan boleh memilih tidak menikah dan tetap utuh. Bahwa perempuan boleh menjadi penyair, petani, ilmuwan, atau sekadar dirinya sendiri tanpa embel-embel yang harus menjelaskan.
Kodrat bukan rantai. Kodrat adalah bahan dasar. Tapi bentuk akhirnya, kita yang menentukan.
Lalu bagaimana dengan laki-laki?
Kartini tahu, perjuangan tak akan lengkap jika laki-laki masih merasa takut pada perempuan yang berpikir. Jika laki-laki masih merasa harga dirinya terancam ketika perempuan berkata tidak.
Kesetaraan bukan kompetisi. Ia adalah simfoni. Dan simfoni tak bisa dimainkan oleh satu alat musik saja.
Kartini mungkin akan menulis surat kepada para lelaki:
"Jangan takut kepada perempuan yang berdiri sejajar. Tak ada gunanya menang jika kau tak bisa saling mendengar."
Di antara bunyi notifikasi, iklan skincare, dan drama politik harian, suara Kartini masih bisa kita dengar—jika kita mau diam sejenak.
Suara itu bukan teriakan. Ia lebih seperti bisikan di malam hari. Yang datang ketika kamu merasa gagal, merasa lelah, merasa tidak cukup. Suara yang berkata:
"Tak apa menangis. Tapi jangan berhenti berjalan."
Kartini hari ini tak berbentuk satu wajah. Ia ada di pasar, di panti asuhan, di pabrik, di kelas daring, di ujung kampung, di layar-layar kecil yang kita genggam tiap hari.
Ia bukan dewi. Ia manusia. Tapi justru karena itu, ia begitu agung.
Kartini adalah kita—jika kita masih percaya bahwa satu langkah kecil bisa menyalakan lilin di tengah dunia yang gelap. Dan dengan cahaya itu, mungkin, hanya mungkin, dunia akan menjadi sedikit lebih hangat.
Komentar
Posting Komentar