Dan Aku Hampir Kalah

Dan Aku Hampir Kalah

Dan, aku hampir kalah…
Diamuk rindu yang membabi buta,
menggerogoti malam-malamku yang sunyi,
mencakar dada yang kuyup oleh kenangan.
Aku sering mencoba menghempaskannya,
melempar jauh rasa yang terus kembali,
namun tiada yang sanggup
membuatnya benar-benar pergi,
seolah ia tumbuh dari serpih-serpih aku sendiri.

Ia menetap…
seperti senja yang tak pernah bosan menua,
merahnya kontras, sabar menunggu gelap,
menanti peluk malam yang tak kunjung datang.
Sementara aku—
duduk di ambang hari,
menganyam ikhlas dari benang-benang waktu
yang tak pernah utuh menjadi milik kita.

Saban detik aku menyulam penantian,
mengerti bahwa kau pun terbagi:
oleh mimpi-mimpi, oleh jarak, oleh kenyataan.
Tapi aku tetap bertahan,
bukan karena tak bisa pergi,
melainkan karena rasa ini
terlanjur menjelma rumah,
dan kamu adalah penghuninya.

Rasa padamu membuatku lupa siapa aku,
menanggalkan egoku,
menyisakan hanya satu nama
yang tak henti berputar
di benakku yang letih dan pikiranku yang lesu:
kamu.

Aku mencintaimu dengan cara
yang bahkan tak bisa aku pahami.
Dengan diam,
dengan doa,
dengan segala rasa yang tak tertampung
dalam bahasa manusia.

Dan mungkin, jika suatu hari kita bertemu
di persimpangan waktu yang bersahabat,
aku tak akan berkata apa-apa.
Aku hanya akan menatapmu,
dan dalam tatap itu,
akan kau temukan seluruh aku
yang telah lama menunggumu
dalam sunyi.



Komentar

Postingan Populer