Jejak Kenangan

Dalam lengkung senja yang menua di balik jendela, aku mendengar waktu berdehem pelan—seperti seorang tua yang hendak bercerita tapi takut tak ada yang mau mendengarkan. Di antara detak jam dan desir angin, masa lalu menampakkan diri, bukan sebagai luka, melainkan sebagai cahaya samar yang menuntun langkah pulang ke dalam diriku sendiri.

Ada aroma tanah basah yang tiba-tiba menembus ingatan. Ada tawa yang entah milik siapa, tapi masih terdengar utuh di telinga batin. Semua itu datang tanpa undangan, tapi juga tanpa permisi pergi. Mungkin begitulah kenangan bekerja—ia tidak hidup di masa lalu, melainkan di dalam denyut yang masih mengingat.

Dulu, kita pernah berlari tanpa tujuan, tertawa tanpa alasan, mencintai tanpa hitung-hitungan. Dunia begitu luas, tapi hati kita lebih luas lagi. Sekarang, setelah semua keramaian berganti hening, barulah kusadari: bukan masa kecil yang pergi, tapi cara kita memandang yang berubah.

Hidup ternyata seperti naskah lama yang terus dipentaskan dengan wajah-wajah baru. Kita semua pemain yang sedang belajar lupa dan mengingat pada saat yang sama. Kadang menunggu giliran berbicara, kadang terdiam karena lupa dialog sendiri. Tapi tak apa, sebab bahkan keheningan pun punya perannya dalam cerita ini.

Dan bila tirai akhirnya turun, aku ingin mengenang hidup bukan dengan penyesalan, melainkan dengan senyum kecil—seperti aktor tua yang tahu setiap kesalahan di panggung adalah bagian dari keindahan pertunjukan. Sebab yang abadi bukanlah tepuk tangan, melainkan ketulusan ketika kita bermain sepenuh hati.

Biarlah jejak kenangan itu menetap di ruang yang sunyi, menjadi cahaya lembut di dalam dada. Bukan untuk disesali, bukan untuk diulang, tapi untuk dihayati—sebagai bukti bahwa kita pernah hidup sungguh-sungguh, pernah mencinta tanpa syarat, dan pernah menjadi manusia seutuhnya.

Sebab pada akhirnya, yang tersisa hanyalah kesetiaan waktu pada kenangan,
dan kesetiaan hati pada makna yang tak bisa mati.

Komentar

Postingan Populer