Kereta waktu Nenek

Nenekku dulu sering berkata sambil menatap jauh ke luar jendela, “Hidup itu seperti kereta, Nak. Kamu tidak tinggal di setiap pemberhentian, dan tidak semua orang berkendara bersamamu sampai akhir.”

Aku kecil waktu itu. Tak benar-benar mengerti apa maksudnya. Aku kira itu hanya ucapan tua yang lahir dari kesepian atau kebiasaan. Ia sering mengucapkannya saat menjahit baju atau memanggang kue pisang, seolah hidup ini memang sederhana seperti dua hal itu: dijahit dan dipanggang dengan sabar.

Tapi waktu punya cara menjelaskan hal-hal yang dulu tak kupahami. Kini, ketika rambutku mulai memutih dan langkahku tak lagi secepat dulu, aku tahu apa yang ia maksud.

Hidup di masa muda seperti menaiki kereta yang riuh—penuh tawa, obrolan, dan rencana. Setiap kursi terisi: teman sekolah, rekan kerja, orang yang kita cintai. Semua tampak akan berada di sana selamanya. Kita bercakap tentang masa depan seolah rel ini tak akan pernah berujung.

Namun, kereta tak berhenti hanya karena kita ingin.
Satu per satu orang turun di pemberhentian mereka. Ada yang pergi karena tujuan hidup membawa mereka ke arah lain. Ada yang hilang begitu cepat, seperti ditelan terowongan gelap. Kursi yang kosong itu kadang membuat dada terasa hampa, tapi perjalanan tetap berlanjut.

Di sanalah kata-kata Nenek menemukan bentuknya. Ia pernah berpesan,
“Rahasia hidup bukan menahan mereka yang turun, tapi mencintai mereka yang masih duduk di sampingmu. Jangan lupa menatap jendela, karena pemandangan selalu berubah—padang, kota, senja, gunung—semua bagian dari perjalanan yang sama.”

Kini, aku sering mendengar suaranya kembali, lembut seperti desir angin di pagi hari:
“Jangan takut ketika gerbongmu mulai sepi. Bersyukurlah untuk setiap teman perjalanan. Dan ketika stasiunmu tiba, turunlah dengan tenang. Tidak ada perjalanan yang sia-sia jika kamu menikmatinya dengan hati penuh syukur.”

Aku mulai mengerti.
Bahwa hidup bukan tentang siapa yang tinggal paling lama, melainkan tentang bagaimana kita hadir selama perjalanan. Bukan tentang menjaga semua, tapi tentang belajar melepaskan dengan damai.

Hidup benar-benar seperti kereta—penuh kedatangan dan kepergian, tawa dan sunyi, pertemuan dan kehilangan.
Dan di ujung rel yang entah di mana, semoga aku bisa turun dengan senyum yang sama seperti senyum Nenek waktu mengucapkan kata-katanya dulu:
“Perjalanan ini indah, Nak. Bukan karena sempurna, tapi karena itu perjalananmu sendiri".



Komentar

Postingan Populer