Merasa bersama Tuhan
Banyak orang mengaku sedang bersama Tuhan. Barangkali, ini adalah kompensasi psikologis dari rasa diabaikan oleh sesama manusia. Sebab ketika perhatian orang-orang lenyap, ketika pintu pergaulan tertutup, jiwa yang rapuh segera mencari pengganti agar tidak karam dalam kesepian. Maka muncullah kata-kata yang menenangkan diri: “Aku bersama Tuhan.”
Tetapi pernyataan itu tidak selalu sesederhana kedengarannya. Ada dua lapisan yang harus dibedakan: yang pertama hanyalah pelarian dari sepi, dan yang kedua adalah perjalanan rohani yang sungguh-sungguh.
Lapisan pertama: pelarian dari sepi.
Manusia adalah makhluk sosial. Ia butuh telinga yang mendengar, mata yang memandang, dan tangan yang menyentuh. Ketika semua itu hilang, ia akan mencari pengganti imajiner. Menyebut nama Tuhan, dalam hal ini, bisa jadi hanyalah semacam strategi bertahan hidup, semacam obat penenang batin agar dirinya tidak runtuh. Tuhan, di sini, bukan benar-benar hadir, melainkan hanya menjadi cermin dari kebutuhan manusia untuk tidak merasa sendirian.
Di sinilah ironi muncul. Orang bisa merasa paling dekat dengan Tuhan justru ketika mereka paling jauh dari sesama manusia. Padahal, bukankah ajaran banyak agama menekankan bahwa kedekatan dengan Tuhan seharusnya juga terwujud dalam kedekatan dengan sesama?
Lapisan kedua: perjalanan rohani yang sejati.
Namun tak semua klaim "bersama Tuhan" berhenti pada kompensasi psikologis. Ada orang-orang yang benar-benar menjadikan kesepian sebagai jalan masuk menuju kedalaman batin. Kesendirian yang menakutkan, jika diterima dengan jujur, bisa berubah menjadi ruang sunyi tempat manusia berhadapan langsung dengan dirinya sendiri. Dan dalam perjumpaan dengan diri, ia perlahan menemukan gema dari sesuatu yang lebih besar: Tuhan.
Kesepian, pada titik ini, tidak lagi menjadi musuh yang harus ditutupi, melainkan guru yang menyingkap makna. Tidak semua orang berani melaluinya. Sebab kebanyakan dari kita hanya ingin dikelilingi ramai, agar luka batin tak terdengar jelas. Tapi bagi yang berani tinggal dalam sunyi, mereka bisa mendengar suara lembut yang sebelumnya tertutup bising dunia.
Antara pelarian dan perjumpaan.
Sulit membedakan, dari luar, apakah seseorang benar-benar sedang bersama Tuhan atau hanya menghibur diri. Kita hanya melihat tubuh yang duduk diam, bibir yang berdoa, atau status yang dituliskan di media sosial: “Aku bersama Tuhan.” Hati siapa yang bisa menilai ketulusan di balik itu semua?
Yang jelas, manusia punya kerinduan abadi untuk ditemani. Jika tidak oleh manusia, maka oleh sesuatu yang lebih tinggi. Dan sering kali, Tuhan menjadi jawaban paling mudah, paling cepat, sekaligus paling aman untuk memenuhi kerinduan itu. Pertanyaannya: apakah nama Tuhan itu hanya dijadikan tameng agar jiwa terasa kuat, atau sungguh menjadi jalan untuk pulang pada-Nya?
Refleksi terakhir.
Kesendirian adalah ruang ujian. Ia bisa menjerumuskan manusia pada ilusi, atau menuntunnya pada pencerahan. Orang yang hanya mencari penghiburan psikologis mungkin akan puas dengan kata-kata: “Aku bersama Tuhan.” Tapi orang yang benar-benar mencari Tuhan tidak akan berhenti pada kata-kata. Ia akan berusaha menghadirkan Tuhan dalam sikapnya, dalam tindakannya, dalam kasihnya pada sesama.
Maka barangkali inilah kuncinya: tidak penting sejauh mana kita merasa bersama Tuhan ketika sendirian. Yang lebih penting adalah seberapa nyata kehadiran Tuhan itu tercermin dalam kehidupan kita bersama orang lain. Sebab jika benar kita dekat dengan Tuhan, bukankah seharusnya dunia sekitar ikut merasakan pantulan kedekatan itu?
Pada akhirnya, manusia boleh berkata apa saja. Tetapi hanya kesunyian yang tahu: apakah kita sungguh bersama Tuhan, atau hanya bersama ilusi yang kita ciptakan untuk menenangkan diri.



Komentar
Posting Komentar