Api Tak Punya Bayangan

Bayangan hanya muncul saat ada yang menghalangi cahaya. Sesuatu yang berdiri di antara terang dan tanah, mencuri sedikit sinar lalu menjatuhkannya jadi siluet. Tubuhmu di bawah mentari misalnya—ia menyisipkan dirinya sebagai perantara antara langit dan bumi. Maka lahirlah bayangan: wujud dari penghalangan itu sendiri.

Tapi api... bukan seperti itu.
Api tidak lahir dari menghalangi, tapi dari memberi. Ia bukan benda padat yang bisa menutup jalan cahaya. Ia sendiri adalah cahaya itu—menari dalam udara, hangat, liar, dan tak bisa digenggam. Ia tak membentuk bayangan karena bagaimana mungkin kau bisa menutup cahaya, bila kau sendiri adalah terang yang mengalir?

Coba kau nyalakan lilin di ruangan gelap. Sorotkan senter padanya. Kau akan lihat bayangan sumbu di dinding, tapi nyala api itu? Ia tetap tembus, seperti kenangan yang terlalu indah untuk disesali, tapi terlalu lembut untuk dipegang.

Begitulah cinta yang diam-diam menyala di sudut hati seseorang. Ia menerangi, tapi tak pernah menuntut untuk dikenang. Ia hadir dalam bentuk hangat dan samar—seperti nyala kecil di ujung malam yang sepi.

Orang-orang yang paling bersinar pun begitu. Mereka datang bukan untuk menghalangi, tapi untuk menuntun. Tak semua dikenang. Tak semua dimengerti. Mereka yang membuat jalanmu terang kadang justru tak kau sadari, sebab mereka tak pernah berdiri di depanmu, tapi selalu di sampingmu—tak membentuk bayangan, hanya cahaya.

Dan seperti api, mereka tak meninggalkan jejak saat pergi.
Karena mereka tak pernah menutupi apapun, hanya memberi ruang bagi terang itu tumbuh.

Maka jika suatu hari kau merasa seperti tak ada yang melihatmu—padahal kau sudah memberi segalanya—ingatlah: api pun tak punya bayangan. Tapi tanpanya, malam hanyalah gulita.

Mungkin kamu memang tidak tercipta untuk menghalangi, tapi untuk menerangi.
Dan mungkin... kamu adalah api itu.

 

Komentar

Postingan Populer