September di Bali
Minggu lalu, Bali seperti seorang anak yang pulang dari sekolah dengan wajah cerah. Demo besar yang biasanya penuh risiko amarah, justru berjalan damai. Tidak ada kaca pecah, tidak ada api yang menjilat bangunan, tidak ada toko yang dijarah. Orang-orang turun ke jalan hanya untuk menyuarakan suara hati, lalu pulang dengan dada lega. Seolah kita diingatkan bahwa keberanian bukan hanya perkara berteriak, tapi juga soal menahan diri. Bali sempat tersenyum.
Namun hari ini, senyum itu lekas dihapus. Alam menurunkan tangannya dengan cara yang berbeda. Hujan deras berhari-hari menjelma banjir. Air yang biasanya menjadi berkah bagi sawah, berubah wajah jadi arus yang menyeret. Rumah-rumah terendam, jalan-jalan putus, dan nyawa manusia ikut terenggut. Seakan-akan alam sedang berkata: “Kalian boleh menjaga kedamaian antar sesama, tapi jangan lupa, kalian juga harus menjaga damai dengan semesta ini.”
Sore ini langit Denpasar masih kelabu, seperti wajah seorang tua yang murung menatap cucunya jatuh sakit. Mendung itu bukan sekadar awan, tapi kabar yang menggantung. Setiap tetes hujan berikutnya terasa seperti ancaman kecil, yang bisa menjelma badai besar kapan saja.
Bali, yang seminggu lalu dipuji karena damainya manusia, kini diuji oleh murkanya alam. Kedamaian itu seperti lilin kecil yang menyala indah dalam gelap, tapi banjir datang seperti angin kencang yang bisa memadamkan nyalanya. Dan kita, manusia yang berdiri di tengah-tengah, hanya bisa berdoa agar lilin itu tetap bertahan, meski apinya bergetar dihembuskan angin.
Mungkin begitulah hidup: kita merayakan tenang di satu sisi, lalu diguncang di sisi yang lain. Kita belajar bahwa kedamaian tidak cukup hanya dijaga di jalan-jalan kota, tapi juga di sungai-sungai yang kita biarkan tersumbat sampah, di hutan-hutan yang kita tebang tanpa pertimbangan, di tanah yang kita betonkan hingga tak lagi bisa menyerap air. Alam punya caranya sendiri mengingatkan.
Semoga kita semua diberi keselamatan. Semoga korban yang jatuh diberi tempat terbaik. Dan semoga Bali, pulau yang selalu dipuja karena keindahannya, tidak hanya belajar menjaga keindahan dari sisi budaya, tapi juga dari sisi alam yang menjadi napasnya. Karena apa arti damai di jalan-jalan, bila sungai dan hutan kita sedang marah.
Dan pada akhirnya, kita hanya bisa merunduk di hadapan langit yang muram. Kita tahu, manusia bisa mengendalikan amarahnya, tapi siapa yang bisa mengendalikan air bah? Kita bisa berunding, bisa berdamai di jalan-jalan kota, tapi kita tak bisa menawar derasnya hujan.
Mungkin inilah yang dimaksud leluhur ketika berkata bahwa alam adalah guru. Ia mengajar tanpa kata, menegur tanpa marah, dan memberi ujian tanpa jadwal. Kadang lewat gempa, kadang lewat banjir, kadang lewat sekadar mendung panjang yang membuat hati kita waswas.
Maka sore ini, ketika langit Denpasar masih bergelayut hitam, doa menjadi satu-satunya bahasa yang bisa kita ucapkan. Doa agar air segera surut. Doa agar tanah kembali tenang. Doa agar jiwa-jiwa yang pergi diterima dengan damai.
Dan doa yang lebih dalam: agar kita, manusia yang sering lalai, bisa belajar menjaga keseimbangan. Sebab kedamaian sejati bukan hanya tidak ada rusuh di jalan, tapi juga ketika sungai, hutan, dan tanah ikut merasa aman dari keserakahan kita.
Semoga lilin kecil yang bernama harapan tetap menyala, meski hujan terus mengetuk jendela Bali malam ini.
---



Komentar
Posting Komentar