Seni dan Simbol yang terlupakan

Salah satu ciri bangsa yang maju pemikirannya bukan sekadar banyaknya gedung tinggi, jalan tol, atau pusat perbelanjaan, melainkan penghargaan mereka pada seni. Dari seni lukis, patung, musik, tarian, hingga busana, semua itu adalah bahasa halus peradaban.

Lihatlah peninggalan Yunani Kuno. Patung-patung mereka bukan sekadar batu yang dipahat, melainkan gagasan yang dibekukan dalam bentuk rupa. Begitu pula dengan leluhur kita: candi, gamelan, ukiran kayu, tarian sakral—semuanya bukti bahwa kita pernah berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar dalam menghormati seni.

Celakanya, hari ini, banyak manusia Indonesia justru mengerdilkan dirinya sendiri. Bukan hanya dalam cara berpikir, tetapi juga dalam memandang makna simbol-simbol kebudayaan.

Tahukah kamu? 

Hampir semua patung Yunani Kuno—dari dewa, pahlawan, hingga atlet—digambarkan dengan penis kecil. Bagi sebagian orang modern mungkin itu aneh, bahkan memancing tawa. Tapi bagi bangsa Yunani, itu adalah simbol peradaban. Penis kecil melambangkan logika yang menguasai nafsu, kebijaksanaan yang menundukkan emosi. Sebaliknya, penis besar dan ereksional dianggap lambang kebodohan, kebuasan, dan ketidakmampuan mengendalikan diri.

Ada ironi di sini. Di masa lalu, kecil justru berarti besar; tenang justru berarti berkuasa. Sedangkan kini, kita lebih sering terjebak pada kebalikan: ukuran fisik dianggap segalanya, sementara kualitas pikiran diabaikan.

Simbol itu, menurut saya, masih sangat relevan. Sebab apa yang kita saksikan hari ini? Banyak orang gampang tersulut emosi, pikirannya dikendalikan bukan oleh nalar, melainkan oleh hasrat yang bersarang di selangkangan. Begitu banyak keputusan diambil bukan karena logika, melainkan karena dorongan nafsu sesaat.

Bangsa Yunani mengukir gagasan itu dalam batu, agar generasi setelahnya tidak lupa. Pertanyaannya: apa yang kita ukir hari ini untuk generasi mendatang? Apakah kita masih bisa menghadirkan simbol-simbol yang mengajarkan pengendalian diri, kebijaksanaan, dan keagungan berpikir? Atau kita justru sibuk merayakan kebuasan, mengagungkan tubuh, dan lupa bahwa pikiranlah yang sesungguhnya memimpin manusia?

Seni, pada akhirnya, bukan sekadar estetika. Ia adalah cermin peradaban. Yunani memahami itu. Leluhur kita pun memahami itu. Semoga kita hari ini tidak kehilangan cermin itu—sebelum akhirnya kita sendiri lupa wajah kita yang sesungguhnya.



Komentar

Postingan Populer