Bali,Banjir dan Kearifan

Bali kembali menangis. Hujan turun tanpa jeda, sungai meluap, rumah-rumah terendam, bahkan nyawa pun ikut hanyut. Kita terburu-buru menyebutnya “bencana alam”, padahal sering kali yang rusak bukanlah alam, melainkan cara kita memperlakukannya. Alam hanya sedang menuntut keseimbangan yang kita abaikan.

Leluhur telah menitipkan warisan agung: Tri Hita Karana—selaras dengan Tuhan, sesama, dan alam. Selama tiga hubungan ini dijaga, harmoni tercipta. Namun, ketika sungai disempitkan, tanah resapan ditutup beton, gunung dijadikan komoditas, dan doa hanya jadi formalitas, maka alam pun mengambil jalannya sendiri. Caranya kerap menyakitkan.

Kita juga diwarisi Subak, bukan sekadar irigasi, melainkan spiritualitas air. Demokrasi ekologis yang lahir dari gotong royong, dari penghormatan pada tirta sebagai sumber hidup. Hari ini banjir seolah bertanya: masihkah kita setia pada warisan itu? Atau kita terlalu sibuk menghitung profit pariwisata, sementara air suci kehilangan keseimbangannya?

Namun Bali tak pernah berhenti mengajarkan. Rwa Bhineda mengingatkan: terang dan gelap, suka dan duka, adalah satu tarikan napas kehidupan. Banjir ini bukan akhir, melainkan panggilan. Panggilan untuk kembali menjadikan ritual bukan sekadar sesajen, tetapi sikap hidup. Bahwa Nyepi bukan hanya sehari hening, melainkan pesan abadi: berdiam, merenung, dan mendengar kembali suara bumi serta nurani.

Musibah ini seharusnya menjadi undangan, bukan sekadar ratapan. Infrastruktur bisa dibangun ulang, rumah bisa direnovasi. Tetapi tanpa perubahan sikap, luka yang sama akan berulang. Bali bukan hanya destinasi; ia adalah doa yang hidup, kearifan yang menyala.

Dan doa itu hanya akan bermakna bila kita, anak-anak Bali, menjaga sungai, menjaga bumi, menjaga sesama—dengan cinta dan tanggung jawab.

Komentar

Postingan Populer