Memahami Arti Cinta

Barangkali kita terlalu sering mengira cinta itu tentang memiliki, padahal sejatinya cinta lebih mirip seperti taman. Bukan kandang. Di taman, bunga-bunga tumbuh karena matahari dan air, bukan karena pagar yang mengekang mereka.

Aku pernah melihat sepasang suami-istri yang berjalan di trotoar, diam, tanpa bicara. Tapi langkah mereka selaras. Tak perlu tanya-tanya ke mana tadi, dengan siapa saja, jam berapa pulang. Tak ada kalimat-kalimat interogatif yang menyamar sebagai bentuk perhatian. Yang ada hanya jeda yang cukup luas untuk menumbuhkan percaya. Yang ada hanya ruang, dan dalam ruang itu, mereka saling menjadi manusia seutuhnya.

Sebab cinta, sejatinya, adalah kesediaan untuk tak selalu tahu segalanya tentang orang yang kita cintai. Karena semakin kita paksa untuk tahu semua hal, semakin cinta itu menjadi tawanan. Dan cinta yang ditawan, akan mencari celah untuk melarikan diri.

Kita ini makhluk bebas. Dan cinta yang dewasa tidak pernah memenjarakan kebebasan itu, tapi merayakannya. Suami pulang larut malam, tak perlu langsung mencurigai. Mungkin dia sedang lelah, atau mungkin dia hanya butuh waktu untuk duduk sendiri di warung kopi, menatap kosong jalanan, mencoba berdamai dengan pikirannya sendiri. Istri pulang agak malam, bukan berarti dia melupakanmu,barangkali ia sedang bertemu temannya, berbagi tawa yang tidak sempat ia bagi denganmu hari ini.

Mengapa harus panik oleh hal-hal kecil yang sebenarnya tak mengancam cinta, jika kita bisa memilih untuk percaya?

Di rumah-rumah yang kita bangun bersama, bukan hanya tembok yang perlu berdiri. Tapi juga jendela. Supaya angin bisa masuk. Supaya cahaya bisa menembus ke dalam. Supaya kita bisa tetap merasa hidup, meski sudah lama tinggal dalam satu atap. Suami bukan properti. Istri bukan milik. Kita ini sahabat seperjalanan, bukan sipir satu sama lain.

Tapi ironis, ya. Banyak orang menikah bukan untuk memperluas hidup, melainkan mempersempitnya. Bertengkar hanya karena playlist musik tak sama. Marah karena pasangan tertawa dengan orang lain. Kecemburuan dihalalkan atas nama cinta, padahal itu cuma rasa takut kehilangan yang dibungkus rapi dengan dalih sayang.

Seorang sahabat tua pernah berkata, "Kalau kamu mencintai burung, jangan kurung dia dalam sangkar. Biarkan dia terbang. Kalau dia kembali, berarti memang kamu rumahnya."

Cinta itu tidak pernah menuntut untuk disamakan. Tidak perlu satu rasa dalam dua hati. Karena keindahan justru tumbuh dari perbedaan yang dirawat. Saling memahami bahwa kita ini dua manusia yang sedang belajar menjadi pasangan. Bukan dua salinan yang harus selalu mirip dalam selera dan langkah.

Maka izinkanlah ada ruang-ruang dalam cinta. Bukan ruang yang menjauhkan, tapi ruang yang menjaga kewarasan. Ruang untuk bernapas, berpikir, menangis diam-diam, atau sekadar duduk sendiri sambil menyeruput kopi tanpa perlu menjelaskan kenapa.

Cinta tidak seharusnya membuatmu menjadi mata-mata atas hidup orang lain. Cinta membuatmu tenang, bukan curiga. Membuatmu bersyukur ketika pasanganmu tertawa, walau bukan karena kamu. Karena bukankah intinya, kita ingin dia bahagia?

Jika dia bahagia dengan melihat laut, biarkan dia ke pantai. Jika kamu bahagia di gunung, biarkan dia memeluk awan. Dan saat kalian kembali bertemu di rumah yang sama, ada cerita-cerita baru yang bisa dibagikan. Ada kerinduan yang tumbuh bukan karena kepergian, tapi karena adanya ruang.

Cinta bukanlah menempel terus-menerus. Cinta adalah tarian dua tubuh yang tak saling menindih, tapi mengisi irama yang sama. Seperti dua nada yang berbeda, namun bisa membentuk harmoni.

"Dan biarkan angin-angin surga menari di antara kalian."

Sebab cinta, jika terlalu dekat, bisa membuat sesak. Tapi cinta yang memberi ruang, akan mekar seperti bunga yang tahu ia tak harus menjadi milik tangan, agar bisa dinikmati mata.

Maka, jika hari ini pasanganmu pulang lebih larut, jangan buru-buru curiga. Seduh teh, tunggu di teras, dan izinkan ruang itu menjadi taman tempat cinta kalian tumbuh kembali—dalam diam yang penuh percaya.



Komentar

Postingan Populer