Bangun dan Pulang

Arya tak pernah benar-benar merencanakan pertemuan itu. Ia hanya mampir di kios keramik kecil di pinggir jalan, mencari sesuatu untuk mengisi kekosongan apartemen barunya. Hidupnya belakangan terasa seperti ruangan dengan dinding putih terlalu bersih: dingin, steril, nyaris tanpa tanda kehadiran manusia.

Di meja kayu usang, ia melihat sebuah vas mungil. Lehernya miring, glaze-nya bergelombang, seakan pembuatnya kehilangan kesabaran saat mengangkat dari tungku. Pada kartu sederhana tertulis: Vase — Wadah untuk cinta yang tumbuh bersama.

“Lucu ya,” suara perempuan tiba-tiba muncul di sampingnya. Ia menoleh. Perempuan itu berdiri santai, rambutnya digulung seadanya, wajahnya tanpa lapisan kosmetik berlebihan. Ada sesuatu pada caranya menatap vas itu—mata yang tidak sekadar melihat, tapi seperti membaca.

“Lucu bagaimana?” tanya Arya.

“Kayak kita manusia. Cacatnya jelas, tapi masih bisa punya fungsi yang mulia.” Perempuan itu tersenyum, setengah mengejek dirinya sendiri.

Arya tertawa, meski agak kaku. “Atau kayak feed orang-orang. Mulus di layar, retak di genggaman.”

Perempuan itu—namanya Lintang—ikut tertawa. Tapi ada sesuatu di balik tawanya: bukan tawa lepas, melainkan seperti bunyi gelas diketuk—jernih, membangunkan, menyisakan gema yang aneh. Arya merasa kepalanya, yang lama terjebak dalam rutinitas membosankan kantor, tiba-tiba menyalakan lampu darurat.

Pertanyaannya pun bergeser. Bukan lagi siapa Lintang? melainkan siapa aku ketika berada di dekatnya?

Lintang tak menambahkan sesuatu yang baru pada dirinya; ia hanya membuka selimut yang selama ini menutupi jam weker. Dari situ Arya paham Alasan Pertama: cinta adalah yang membuatmu bangun dan ingin penasaran lagi.

Minggu-minggu berikutnya, mereka membeli vas itu. Setiap pertemuan, selalu ada benda kecil yang mereka masukkan: tiket bus dengan tinta pudar, serpih daun kering yang jatuh di jalan, catatan receh dengan tulisan tangan terburu: ingat tertawa sebelum lapar.

Benda-benda itu tampak remeh, tetapi perlahan mengisi ruang kosong di hati Arya. Ia, yang biasanya pulang kerja hanya menyalakan laptop lalu menatap layar tanpa makna, kini merasa apartemennya bernapas. Vas itu seperti saksi kecil: rumah ternyata bukan soal alamat, melainkan ruang di dada tempat sesuatu boleh rapuh dan tetap diterima.

Lintang memiliki kebiasaan aneh: ketika Arya gagal atau salah, ia tidak sibuk memberi wejangan atau mengoreksi. Ia hanya duduk di sampingnya, diam, seperti lampu koridor—redup, tapi setia menunjukkan arah. Dari situ Arya mengerti Alasan Kedua: cinta adalah pulang. Bukan karena ada kesempurnaan, melainkan karena ada kursi kosong yang tak menanyakan kenapa bajumu basah kuyup.

Namun, di balik ketenangan itu, Arya tahu ada luka lama yang dibawa Lintang. Pernah suatu malam, ketika hujan deras menumbuk jendela, Arya mendapati Lintang termenung sambil memandangi vas.

“Kamu tahu,” katanya lirih, “aku pernah hidup dengan seseorang yang ingin cintanya selalu tampak mulus. Tak boleh retak, tak boleh pecah. Sekali aku menangis, ia bilang aku lemah. Sekali aku marah, ia bilang aku tak tahu bersyukur. Padahal cinta yang terlalu bersih justru terasa seperti rumah sakit—bau desinfektan, tapi tak pernah hangat.”

Arya terdiam. Ia sendiri menyimpan trauma: hubungannya dulu kandas setelah bertahun-tahun menahan perasaan tak pernah cukup. Ia terbiasa mengukur dirinya dengan standar orang lain, hingga lupa rasanya duduk dan merasa diterima.

Mereka tak butuh kata-kata lebih. Malam itu mereka hanya mendengarkan detak jam, membiarkan luka masing-masing menggantung di udara—tidak disembunyikan, tidak pula dipaksa sembuh.

Sore itu, nasib vas kecil berubah. Tangan Arya yang ceroboh menyenggol meja, vas jatuh, pecah. Lehernya yang miring patah, bibirnya retak seperti garis telapak tangan yang seolah memprediksi masa depan. Arya panik. Ia menyalahkan dirinya, merasa semua makna yang mereka rawat akan hilang begitu saja.

Lintang justru tersenyum getir. “Kita selalu ingin cinta seperti benda di museum—tak boleh disentuh, tak boleh rusak. Padahal cinta itu lebih mirip dapur: berantakan, tapi hangat.”

Mereka merekatkan pecahan itu dengan lem dan bubuk emas. Retaknya tetap terlihat, justru menjadi pola berkilau. Lintang menelusuri garis retak dengan jarinya, lalu berbisik, “Begitu pula lukamu. Jangan kau sembunyikan sampai mati rasa. Biarkan terlihat, supaya kita tahu di mana harus berhati-hati.”

Malam itu, Arya memberanikan diri bertanya. “Kenapa kamu memilih aku?”

Lintang menatap vas berurat emas, lalu menoleh pada Arya. “Karena bersamamu, aku bangun… dan selalu merasa pulang.”

Jawaban itu sederhana, tapi terasa seperti air yang menetes ke tanah kering. Arya mengerti kini: dunia boleh tetap riuh, algoritma boleh tetap lapar, orang-orang boleh sibuk menata wajah digital mereka. Namun di meja kecil itu, vas yang tak sempurna berdiri tegak: wadah yang cukup menampung dua alasan cinta—yang membangunkan, dan yang jadi rumah.

Arya sadar, cinta tak pernah bisa dipertahankan dengan kesempurnaan. Ia justru tumbuh dari retakan, dari keberanian untuk tidak menutupi luka. Ia juga mengerti, trauma masa lalu bukan untuk dihapus, melainkan untuk diberi emas agar bisa bersinar.

Dan mungkin itulah keajaiban cinta: ia tidak datang sebagai hadiah yang rapi, melainkan sebagai undangan untuk bersama-sama merapikan berantakan.

Vas itu kini berdiri di tengah meja makan mereka, berkilau dengan retak yang jujur. Sebuah pengingat sederhana: cinta bukan soal seberapa mulus kita bisa tampil, tapi seberapa jujur kita berani hidup—retak, rapuh, dan tetap memilih untuk saling menemani.



Komentar

Postingan Populer