Pertemuan Pertama
Malam itu terasa seperti lorong tanpa pintu keluar. Aku sudah berkali-kali membuka mata, menatap jam dinding, dan menelan kekecewaan yang sama: pagi masih terlalu jauh.
Dalam gelap, pikiranku sibuk memutar ulang pesan-pesan singkat darinya sore tadi. Pesan yang sederhana, tapi justru menguasai seluruh ruang di kepalaku.
“Sabtu besok kamu ada acara?” tulisku dengan hati-hati. Bahkan tanpa tatapan, aku bisa merasakan dadaku berdebar seolah sedang dipertontonkan di panggung.
Jawabannya datang beberapa jam kemudian.
“Enggak.”
Satu kata. Singkat. Dingin. Tapi seperti bunyi koin jatuh di lantai sunyi, aku masih bisa mendengarnya berulang-ulang di kepalaku.
“Bisa ketemu?”
Aku menarik napas panjang begitu pesan itu terkirim. Anehnya, napas itu tak pernah benar-benar menjadi lega. Ia berhenti di dada, seperti seekor burung kecil yang tak tahu jalan keluar.
Beberapa menit kemudian, balasan itu muncul.
“Bisa.”
Satu kata lain. Dan seluruh dunia di sekitarku tiba-tiba terdengar lebih riuh daripada biasanya.
Aku menatap cermin usang di sisi ranjang. Wajah yang menatap balik adalah milik seorang lelaki bernama Raka: kulit gelap, mata agak sayu, raut biasa saja. Aku bertanya pelan pada bayangan itu, Apakah dia tidak akan malu berjalan bersamamu di depan umum?
Tapi pertanyaan itu tak pernah kujawab. Karena hasrat untuk bertemu lebih besar daripada rasa takut ditolak.
Pagi datang dengan segala kerepotannya. Aku meminta sepatu pada sepupuku, Dion.
“Aku juga mau pakai, Kak,” katanya sambil menggeleng.
Aku hanya menggaruk kepala. Di pojok, Bibi yang sejak subuh sibuk menyetrika bajuku berkata lirih, “Pakai punya Paman saja.”
Akhirnya aku mengenakan sepatu pantofel tua milik Paman, kulitnya sudah terkelupas di ujung. Saat melihat sepatu itu, aku teringat kalimat aneh yang pernah kubaca dalam sebuah novel Jepang: kadang sepatu yang paling tua justru paling tahu arah pulang.
Aku tak tahu kenapa kalimat itu muncul kembali pagi ini.
Kafe itu wangi kopi, berisik gelas, dan sepi pada saat yang sama. Aku memilih duduk di meja dekat jendela. Menunggu.
Setengah jam. Satu jam. Dia tak kunjung datang. Dadaku yang tadinya berdebar kini berubah menjadi resah, lalu marah kecil, lalu hampa.
Kupandangi lagi percakapan singkat di layar ponsel. Kata-kata sederhana yang membuatku duduk di sini seperti seorang aktor yang belum dipanggil ke panggung.
“Raka?”
Suara itu datang dari belakang. Aku menoleh.
Di sana berdiri seorang perempuan bernama Ayla. Kulitnya putih, rambut coklat kemerahan, sepatu hak tinggi. Semuanya terlihat asing, seperti sosok yang jatuh dari dunia paralel.
“Maaf ya, baru datang.” Ia tersenyum tipis.
Aku ikut tersenyum, meski segera sadar: sorot matanya sedang menilai. Dari kepalaku hingga ujung sepatu pantofel Paman.
Aku ingin memeluknya. Tapi tubuhnya seakan membentuk tembok tak kasat mata. Ia memilih duduk di seberang meja, terlalu jauh untuk menyentuh, terlalu dekat untuk mengabaikan.
“Gimana kabarnya, Rak?” tanyanya sambil membuka ponsel. Jemarinya sibuk di layar, seolah percakapan nyata hanyalah jeda dari percakapan digital yang lebih penting.
Aku bersandar. “Baik.”
Sampai di sini aku tahu, keheningan lebih banyak bicara daripada kalimat mana pun.
Ayla bukan sekadar teman dunia maya. Ia ibuku. Ia yang meninggalkanku puluhan tahun lalu di rumah Bibi untuk mencari suaminya, lalu tak pernah kembali. Dunia menempatkannya di pangkuan seorang pria kaya, sementara aku tetap di rumah sederhana dengan piring-piring retak.
Dua tahun lalu aku mencarinya di Facebook. Menemukan wajahnya melalui foto lama yang masih kusimpan. Sejak itu aku terus memohon pertemuan. Dan kini—entah dengan keberanian atau kebodohan—aku benar-benar duduk berhadapan dengannya.
Lewat jendela kafe, kulihat Bibi di seberang jalan, menjajakan kue. Pagi tadi, sebelum aku berangkat, ia sempat mengusap rambutku dengan mata berkaca-kaca. Kini aku mengerti: ia tahu pertemuan ini tidak akan menyembuhkan apa pun.
Hari itu aku belajar, bahwa ada pertemuan yang lebih menyakitkan daripada perpisahan. Pertemuan yang justru memberi jarak baru, seperti dua garis lurus yang semakin panjang semakin jauh.
Ayla sibuk dengan ponselnya. Aku menatap keluar jendela. Dan entah kenapa, di balik bayangan Bibi, aku seperti melihat seekor kucing liar menatapku dengan mata penuh rahasia.


Komentar
Posting Komentar