Burung Ajaib Raja

 

Hutan di tepian Sungai Mahakam bukan hanya sekadar sekumpulan pepohonan, namun ia adalah sebuah kitab yang ditulis angin, hujan, dan waktu. Setiap akar yang menjalar, setiap daun yang gugur, adalah laksana huruf-huruf dalam bahasa kuno yang hanya bisa dibaca oleh hati yang tenang. Di sanalah, di tengah rimba purba yang bernapas, Raja Mulawarman Nala Dewa, seorang pria yang namanya kini diukir dalam batu dan dipuja dalam doa menemukan dirinya tengah tersesat di dalam hutan rimba.

Namun, apakah seseorang benar-benar tersesat ketika ia tidak lagi tahu ke mana harus melangkah dalam mengarungi hidup di dunia ini? Ataukah sebenarnya ketersesatan itu hanyalah cara semesta untuk mengajaknya pulang ke tempat yang lebih dalam, yaitu ke dalam hati nuraninya sendiri?

Mulawarman adalah cucu Kudungga dan putra dari Raja Aswawarman. Ia bukan hanya sekadar raja, namun ia adalah simbol kejayaan Kerajaan Kutai Martadipura. Ia adalah pewaris tahta yang gemerlap dengan emas dan persembahan ribuan ekor sapi untuk para dewa. Tetapi, dalam kegelapan hutan rimba yang mencekam, mahkota kerajaannya tidak lain hanyalah sepotong logam, dan gelar kebesarannya hanyalah kekosongan.

Ia memulai perjalanan ini sebagai bagian dari manah, yaitu sebuah tradisi menyepi untuk mendengarkan suara ilahi di balik kebisingan dunia. Ia berjalan sendiri dan tanpa pengawalan, hanya ditemani oleh keris pusakanya dan doa yang tidak henti-hentinya ia panjatkan untuk menghubungkannya dengan para leluhur. Namun, hutan rimba memiliki caranya sendiri untuk mengajarkan pelajaran yang tak tertulis dalam kitab suci. Hari itu, meskipun kabut turun, Mulawarman tidak menganggapnya sebagai penghalang, melainkan penuntun ghaib dari alam semesta yang menyertai setiap langkahnya.

Di sanalah Mulawarman duduk, di atas akar pohon ulin yang melingkar seperti naga tua yang menjaga rahasia bumi. Dalam posisi itu, ia melepaskan semua gelar kerajaannya. Dihadapan alam semesta, ia hanyalah seorang pria biasa yang jantungnya tengah berdetak, terombang-ambing di antara rasa takut dan keraguan.

Ketika langit menghitam, ia mulai mendengar suara aneh merayap di antara kabut, semacam jeritan yang bukan sepenuhnya berasal dari binatang atau manusia. Ia berpikir: "Apakah ini ujian dari para dewa? Ataukah ini hanyalah bayang-bayang ketakutanku sendiri yang menjelma dalam kenyataan?"

Tepat saat pikirannya nyaris tenggelam dalam gelap, sebuah cahaya kecil muncul. Cahaya bukan obor dan bukan juga api, melainkan seekor burung Enggang Gading yang berdiri di atas dahan rendah. Bulu putihnya berkilau lembut seperti cahaya bulan di permukaan sungai. Burung itu menatapnya tidak seperti layaknya burung biasa, melainkan seolah-olah ia mengerti segala sesuatu tentang isi hati sang raja.

Tanpa kata-kata, Mulawarman berdiri. Ia mengikuti burung itu. Suasana hutan mendadak berubah. Suara jeritan menghilang, digantikan oleh gemericik air yang jauh, desiran angin yang lembut, dan bisikan-bisikan yang tidak lagi menakutkan. Setiap langkah Mulawarman bukan hanya membawa tubuhnya lebih dekat ke Sungai Mahakam, tetapi juga jiwanya lebih dekat ke sesuatu yang lebih penting, yaitu sumber kebijaksanaan di dalam dirinya sendiri.

Di sebuah batu datar, ia berhenti. Ia berlutut, membuka kotak kecil berisi manik-manik sakral, simbol ajaran Kaharingan yang suci. Dengan kepala tertunduk, ia berdoa dengan hati yang penuh dengan kejujuran dan kesederhanaan:

"Wahai burung, aku bukan raja di hadapanmu, tetapi aku hanyalah sebutir debu di antara angin yang bertiup."

Dan disaat itulah, ia mendengar suara. Bukan melalui telinganya, tetapi melalui kebijaksanaan di dalam batinnya sendiri. Suara itu berkata:

"Mulawarman, engkau tidak pernah benar-benar tersesat. Engkau hanya melupakan bahwa jalan kebijaksanaan selalu ada di dalam dirimu. Dunia ini bukan untuk dikuasai, melainkan untuk dijaga. Engkau bukanlah seorang raja atas hutan ini; tetapi engkau adalah bagian dari hutan ini sendiri."

Air matanya jatuh bukan karena sedih, tetapi karena hatinya baru saja disentuh oleh kebenaran yang mendalam. Ia berdiri, mengikuti burung itu melewati celah sempit di antara dua pohon raksasa, di mana cahaya senja menembus kabut, menciptakan lorong emas yang membawanya kembali ke Sungai Mahakam.

Di ambang batas itu, ia menoleh. Burung Enggang Gading masih ada di sana, bertengger tenang, matanya penuh kedalaman yang tak terukur. Mulawarman berbisik, "Wahai burung, siapa kamu sebenarnya?"

Burung itu tidak menjawab. Ia hanya mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi, meninggalkan jejak cahaya yang perlahan memudar.

Mulawarman menatap jejaknya di tanah. Langkah-langkah yang sebelumnya terasa berat kini terasa ringan, seolah beban bertahun-tahun telah luruh bersama angin. Hutan telah mengajarkannya sesuatu yang tidak bisa diajarkan oleh istana—bahwa seorang raja sejati bukanlah dia yang duduk di singgasana tertinggi, melainkan dia yang mampu mendengar bisikan terkecil dari semesta.

Sekembalinya ke istana, Mulawarman memerintahkan simbol burung itu diabadikan dalam lambang kerajaannya, sebagai pengingat bahwa bahkan seorang raja yang terbesar pun bisa saja tersesat di dalam hutan rimba. Dan seringkali, alam memberikan penunjuk jalan dalam bentuk yang sederhana, seperti burung kecil yang tiba-tiba muncul di tengah kabut, atau bisikan hati yang datang spontan di tengah kesunyian.

Karena sejatinya, kita semua adalah peziarah. Dan selama kita punya keberanian untuk mengikuti cahaya kecil di dalam hati nurani kita sendiri, di tengah kegelapan dunia ini, kita tidak akan pernah benar-benar tersesat.



Komentar

Postingan Populer