Sekejap senja
Aku bertemu dengannya di penghujung musim hujan, di sebuah kafe kecil yang menyembunyikan diri di sudut kota. Senja melukis langit dengan warna merah yang membara, seolah menyalakan gairah yang lama tertidur dalam diriku. Hujan baru saja reda, menyisakan sisa-sisa air di jalanan yang berkilau seperti kenangan lama yang belum sepenuhnya kering.
Dia masuk. Langkahnya tetap sama,penuh percaya diri, sedikit angkuh, seperti seseorang yang tahu betul bahwa dunia ini berputar untuknya. Blazer hitamnya terbuka, memperlihatkan garis leher yang masih seindah yang kuingat. Matanya bertemu dengan mataku, dan dalam sepersekian detik itu, aku tahu bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.
Tanpa basa-basi, dia berjalan mendekat, menarik kursi di depanku, dan duduk.
“Sudah lama, ya,” katanya, melepaskan blazer dan melemparkannya ke sandaran kursi.
Aku menyesap kopiku perlahan. “Lama sekali.”
Dia tersenyum miring. “Kau masih suka bermain dengan kata-kata?”
Aku mengangkat bahu. “Dan kau masih suka bermain dengan hati orang?”
Dia tertawa kecil. Tawa yang dulu sering membuatku lupa bahwa ia lebih berbahaya daripada api.
Pelayan datang, dan dia memesan segelas anggur merah. Tidak heran. Dia memang seperti itu,seorang perempuan yang lebih suka anggur daripada kopi, lebih memilih mabuk daripada terjebak dalam kenyataan.
Kami berbincang, meski sebenarnya yang terjadi adalah saling menelanjangi. Bukan dengan tangan, bukan dengan bibir—tapi dengan kata-kata, dengan tatapan yang menyimpan terlalu banyak masa lalu yang belum selesai.
“Aku selalu tahu kita akan bertemu lagi,” katanya, menyesap anggurnya dengan lambat.
Aku menatapnya, memperhatikan bibirnya yang basah karena minuman itu. “Aku tidak yakin,” jawabku, meski jauh di dalam diriku, aku juga selalu menunggu saat ini.
Dia bersandar ke kursinya, memainkan ujung gelasnya dengan jemari yang dulu sering meninggalkan jejak di punggungku. “Masih menyimpan kenangan itu?” tanyanya dengan nada menggoda.
Aku tersenyum. “Beberapa hal memang sulit dilupakan.”
Dia tertawa, tetapi kali ini ada sesuatu di dalam tawanya,sesuatu yang lebih dalam, lebih jujur. Seolah dia juga tahu bahwa pertemuan ini bukan hanya tentang kebetulan atau nostalgia.
Senja di luar semakin redup. Aku bisa merasakan hawa di antara kami mulai berubah. Ada sesuatu yang bergetar di udara, sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Dia menatapku lama, lalu berkata dengan nada setengah berbisik, “Ayo pergi dari sini.”
Aku tidak bertanya ke mana. Tidak perlu. Aku hanya mengambil jaketku, meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja, dan mengikuti langkahnya ke luar kafe.
Senja telah menghilang sepenuhnya, meninggalkan gelap yang lebih jujur. Malam tahu, dan aku tahu,permainan ini belum berakhir.
Komentar
Posting Komentar