Istirahat lah ...
Tentang Pikiran yang Tak Pernah Beristirahat
Kamu tahu, ada seseorang yang begitu tenggelam dalam pikirannya sendiri hingga tubuhnya perlahan menyerah. Ia cemas tentang masa depan yang belum pasti, tentang keluarga yang harus ia jaga, tentang pekerjaan yang tak kunjung stabil. Setiap hari, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang berputar tanpa henti:
"Bagaimana kalau aku gagal?"
"Bagaimana kalau aku mengecewakan mereka?"
"Bagaimana kalau hidupku tidak akan pernah membaik?"
Ia berpikir begitu dalam, seakan ingin menemukan jawaban mutlak atas ketidakpastian. Namun, hidup tidak pernah menawarkan kepastian—hanya kemungkinan, hanya perubahan yang terus berjalan tanpa permisi.
Awalnya hanya sulit tidur, lalu sakit kepala yang tak kunjung reda. Napasnya terasa berat, seakan udara di sekelilingnya menipis. Hingga suatu hari, tubuhnya benar-benar menyerah. Jantungnya berdegup cepat, tangannya gemetar tanpa sebab, kepalanya serasa membawa beban yang tak kasat mata.
Dokter hanya berkata, “Kamu tidak sakit… tapi tubuhmu kelelahan karena pikiranmu sendiri.”
Lalu, ia menyadari sesuatu—bahwa overthinking bukan sekadar kelelahan mental, tapi juga luka yang perlahan merambat ke tubuh.
Pernahkah kamu memperhatikan lautan? Gelombangnya tak pernah benar-benar berhenti, tapi sesekali, ia melambat. Angin pun tahu kapan harus berhembus dan kapan harus tenang. Alam mengerti keseimbangan, tapi manusia sering lupa.
Mungkin yang kamu butuhkan bukan bekerja lebih keras, bukan mencari jawaban atas semua kemungkinan. Tapi sekadar memberi dirimu izin untuk bernapas.
Bebanmu tidak akan hilang dalam sehari, tapi kamu berhak untuk beristirahat walau sejenak. Sebab hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang merasakan.
Kadang, sesederhana segelas teh hangat,buku menarik dan film favorit sudah cukup untuk mengingatkanmu bahwa kamu masih hidup—dan itu sudah lebih dari cukup.
Komentar
Posting Komentar