Bayang-Bayang yang Menggoda

Aku datang dengan maksud sederhana: mengenang masa lalu bersama Andik, teman lamaku di SMA. Tak ada niat lain selain berbincang tentang kehidupan, tentang bagaimana nasib membentuk kami masing-masing. Tapi aku tidak menduga, bahwa sore itu, sebuah ketegangan yang tak kasatmata akan menyelimutiku.

Rumah kontrakan Andik lebih besar dari rumahku. Itu cukup menjelaskan bahwa perjalanannya ke Kalimantan membawa hasil, meskipun aku tahu pernikahannya bukanlah pernikahan cinta, melainkan pernikahan budi. Aku mengetuk pintu beberapa kali, namun tak ada jawaban.

Sunyi.

Aku menunggu, mencoba memahami mengapa rumah itu tampak hidup, tapi tidak ada yang menjawab. Aku melihat kilatan cahaya di dalam, bayangan samar di balik jendela. Entah bagaimana, dorongan ingin tahu yang tak biasa menggerakkan langkahku ke samping rumah. Dari celah jendela yang sedikit terbuka, aku melihatnya—sepotong tubuh tanpa busana, tergeletak di atas ranjang.

Sekelebat pikiran buruk melintas, tapi aku buru-buru menepisnya. Bisa saja itu Andik, tertidur kelelahan. Bisa saja aku hanya melihat sekilas dan salah mengira. Tapi, sesuatu dalam dadaku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Lalu pintu terbuka.

Ia berdiri di hadapanku, seorang perempuan muda dengan kain sarung yang hanya menutupi bagian bawah tubuhnya. Rambutnya masih berantakan, matanya sedikit menyipit, mungkin baru saja bangun tidur.

“Selamat sore,” sapaku, suaraku terasa kering.

“Siang,” jawabnya, sedikit ragu. “Cari siapa?”

Aku menjelaskan bahwa aku teman lama Andik, dan ia mengangguk sambil menyilakan aku masuk. Di ruang tamu, aku duduk, dan ia buru-buru masuk ke dalam. Ketika kembali, ia telah mengenakan baju, membawa secangkir kopi dan kue.

Perbincangan kami mengalir begitu saja. Mungkin karena sama-sama merasa terjebak dalam pernikahan tanpa gairah, atau mungkin karena kesepian menciptakan ruang yang sulit dihindari. Ia berbicara dengan kelembutan yang berbahaya, dan aku, entah mengapa, mendengarkan dengan terlalu banyak perhatian.

Ketika ia menanyakan apakah aku mengintipnya, aku sempat kehilangan kata-kata. Apakah ia mengetahuinya? Apakah ia merasakan tatapanku yang menerobos masuk lewat jendela?

“Apa yang kau lihat tadi?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menarik napas. “Hanya kilatan TV dan sepotong kaki.”

Ia tersenyum. “Ah, jadi kau tidak melihat apa-apa?”

Aku menelan ludah. Cara ia bertanya terasa seperti jebakan, seperti jerat yang perlahan mengikat leherku.

Malam semakin larut. Andik belum juga pulang. Ia memasak makan malam, lalu memintaku menemaninya makan. Aku merasa seharusnya pergi, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menahanku di rumah ini. Mungkin caranya berbicara, mungkin kesan samar bahwa ia mengundangku ke dalam dunianya yang sunyi.

Dan aku tahu, batas antara moralitas dan keinginan adalah sesuatu yang sangat tipis.

Di dalam kamar, TV masih menyala, menampilkan adegan-adegan Angling Dharma. Ketika aku sekilas melihat sudut tempat tidur, aku melihat sebuah celana dalam tergeletak di sana—begitu saja, seolah menunggu untuk ditemukan.

Ketika aku kembali duduk di ruang tamu, ia keluar dari dapur dengan senyum yang tidak bisa kuartikan.

Aku harus pergi, batinku. Tapi tubuhku tetap diam.

Di luar, malam semakin pekat. Di dalam, ketegangan makin mengental. Aku tahu, jika aku tinggal lebih lama, aku akan melangkah ke dalam bayang-bayang yang mungkin tak bisa lagi kutinggalkan.




Komentar

Postingan Populer