Bayangan yang menjaga cahaya
Di Bali, setiap enam bulan sekali, Tumpek Wayang tiba. Sebuah hari yang sering disalahpahami hanya sebagai penanda di kalender pawukon, padahal ia adalah simpul kosmik,tempat bayangan dan cahaya berjumpa, tempat kita diingatkan kembali pada hakikat hidup yang penuh lakon.
Ketika sore merambat, matahari condong ke barat, angin membawa bisik purba dari zaman yang tak bernama. Dupa mulai menyala, gamelan ditabuh pelan, dan seolah semesta pun bersiap untuk membuka panggungnya. Dalang menyiapkan kelir, mengatur wayang, lalu mengetuk kotak kayu. Dalam hentakan itu, batas antara yang kasatmata dan tak kasatmata runtuh. Seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, kita diajak masuk ke ruang di mana bayangan bukan sekadar bayangan, melainkan doa yang bergerak.
Wayang bukan hanya seni pertunjukan. Ia adalah kitab yang tidak ditulis dengan huruf, melainkan dengan cahaya dan bayangan. Setiap tokohnya adalah simbol, setiap lakonnya adalah pesan. Rama dan Rahwana, Pandawa dan Kurawa,mereka tidak sekadar tokoh legenda, melainkan perwujudan dari tarik menarik antara dharma dan adharma yang juga hidup dalam batin kita.
Di hari Tumpek Wayang, pertarungan itu kembali diingatkan. Bahwa hidup bukanlah hitam-putih, bukan sekadar memilih cahaya atau menolak kegelapan, melainkan menjaga keseimbangan. Sebab cahaya baru berarti bila ada bayangan yang menemaninya.
Seorang tua di desa pernah berkata, “Kalau kau hanya melihat bayangan sebagai musuh, maka kau sedang melawan setengah dari hidupmu sendiri.” Ucapannya sederhana, tapi menghunjam.
Bukankah kita sering begitu? Menganggap gelap sebagai kutukan, padahal justru di dalam gelap itulah kita bisa melihat bintang.
Tumpek Wayang, dengan segala upacara dan simbolnya, mengingatkan bahwa hidup ini bukan tentang menyingkirkan bayangan, melainkan memahami pesan yang dibawanya. Bayangan adalah guru yang sabar. Ia tak pernah meninggalkan kita, selalu mengikuti kemanapun kita pergi. Dan seperti itulah, dharma dan adharma selalu mengiringi langkah kita, menunggu bagaimana kita memilih.
Di balik kelir, dalang memainkan jarinya dengan luwes. Ia adalah Sang Waktu yang agung, tak terlihat tapi mengatur alur cerita. Kita, para tokoh wayang, bergerak sesuai perannya. Kadang kita menjadi Arjuna, penuh keberanian dan kesetiaan. Kadang kita menjadi Rahwana, dikuasai amarah dan keangkuhan. Kadang kita hanya menjadi punakawan,menghibur, sederhana, tapi menyimpan kebijaksanaan tersembunyi.
Dan di situlah rahasia Tumpek Wayang: ia menyingkap bahwa kita tidak bisa memilih hanya satu peran. Kita akan melewati semuanya, dalam berbagai babak kehidupan. Karena hidup bukanlah satu lakon tunggal, melainkan rangkaian cerita yang saling terhubung, tak pernah benar-benar selesai.
Ketika dupa mengepul, aromanya seakan mengantar doa ke langit. Tetapi doa itu tidak hanya untuk para leluhur, melainkan juga untuk diri kita sendiri, agar tidak lupa siapa kita sesungguhnya. Tumpek Wayang adalah saat untuk menundukkan kepala, mengakui bahwa hidup ini fana, bahwa tubuh hanyalah bayangan yang akan hilang saat cahaya padam. Yang abadi hanyalah lakon, kisah yang kita tinggalkan.
Maka, apa yang kita mainkan hari ini akan bergema di hari esok. Apa yang kita perankan, bagaimana kita bersikap, akan menjadi jejak yang membentuk cerita bagi generasi berikutnya. Itulah mengapa Tumpek Wayang bukan sekadar ritual, melainkan peringatan: jangan biarkan lakon hidupmu kosong.
Di dunia yang semakin modern, kita sering kehilangan rasa hening. Semua bergerak cepat, semua ingin terang, semua ingin tampak. Bayangan dianggap penghalang yang harus dihapus. Namun, Tumpek Wayang mengajarkan sebaliknya. Justru dalam bayangan itulah kita menemukan jeda, menemukan ruang untuk bercermin.
Bayangan tidak berbohong. Ia menampakkan wujud kita apa adanya, tanpa topeng, tanpa polesan. Barangkali itulah alasan leluhur menempatkan wayang sebagai jembatan antara manusia dengan dewata. Sebab hanya dengan menerima bayangan, kita bisa memahami makna cahaya.
Hari ini, di hadapan kelir kosmik itu, aku tunduk. Aku biarkan diriku dimainkan oleh tangan Sang Waktu. Aku tidak tahu apakah lakon hidupku berakhir sebagai pahlawan atau sekadar tokoh yang terlupakan. Tapi aku tahu satu hal: setiap bayangan yang kutinggalkan adalah bagian dari cerita yang lebih besar, yang tak pernah benar-benar selesai.
Tumpek Wayang adalah saat kita diingatkan kembali, bahwa hidup ini hanyalah pertunjukan singkat. Bayangan akan lenyap, cahaya akan padam, namun kisah tetap hidup di antara generasi. Dan di sanalah letak kekekalan: bukan pada tubuh, bukan pada harta, melainkan pada cerita yang diwariskan.
Maka, mari jalani lakon ini dengan kesadaran. Bukan untuk menjadi tokoh yang sempurna, melainkan untuk menjadi tokoh yang setia pada perannya. Sebab pada akhirnya, cahaya dan bayangan bukanlah lawan, melainkan dua sayap yang membuat cerita bisa terbang.
Itulah Tumpek Wayang ,hari ketika kita belajar kembali, bahwa segala yang bermula dan berakhir, sesungguhnya tidak pernah benar-benar selesai.
Komentar
Posting Komentar