Mimpi-mimpi

 Malam belum sepenuhnya gelap ketika ia terlelap—jiwanya mengapung perlahan ke alam yang tak punya peta. Di sana, langit bukan biru, bukan kelabu, tapi warna delima yang remuk: antara cinta dan kehilangan. Angin berhembus seperti napas seorang perempuan yang sedang menyimpan rahasia.


Di bawah pohon flamboyan yang sedang mekar tanpa suara, ia melihatnya. Perempuan itu.


Ia berdiri di ujung rerumputan, mengenakan kain tipis selembut kabut pagi. Warna pinknya samar, seperti kelopak bunga yang setengah malu membuka diri. Angin menari di sekelilingnya, memainkan ujung bajunya yang pendek dan ringan, seperti ingin membisikkan sesuatu yang hanya boleh didengar oleh mata.


Ia tidak berjalan—ia meluncur, seolah tanah tunduk di bawah kakinya. Dan setiap langkahnya menciptakan gemuruh halus di dada lelaki itu, seperti denting piano tua yang dimainkan dengan jari-jari rindu.


"Kenapa kau selalu datang ketika aku tak bisa menggenggammu?" tanyanya tanpa suara.


Perempuan itu tidak menjawab. Tapi ia mendekat, cukup dekat hingga aroma tubuhnya—wangi bunga yang belum diberi nama—membungkus seluruh ruang. Jemarinya yang lentik mengangkat sehelai daun yang jatuh di bahu lelaki itu, lalu mengusapnya perlahan, seolah ia adalah taman yang patut dirawat dengan kelembutan.


Lalu hujan pun turun. Tapi bukan hujan basah. Ini hujan hangat, gerimis cahaya yang jatuh dari langit penuh bulan. Cahaya itu menempel di kulit mereka seperti ciuman yang tertahan. Lelaki itu ingin berkata sesuatu—tentang cinta yang tak sempat berakar, tentang tubuhnya yang menyimpan bara setiap kali nama perempuan itu disebut.


Tapi mulutnya kaku. Dan saat ia mencoba menggenggam tangan perempuan itu, jemari mereka bersentuhan sebentar—sehangat matahari pagi di balik tirai—lalu hilang.


Perempuan itu melangkah mundur, senyumnya tipis seperti luka yang tak pernah sembuh. Lalu ia lenyap di balik kabut lembut, seolah memang tak pernah diciptakan untuk dimiliki, hanya untuk diimpikan.


Ia terbangun dengan dada berat, namun senyum menggantung di bibir. Mimpi itu seperti madu yang tersisa di lidah: manis, tapi tak bisa ditelan. Ia tahu, beberapa cinta memang diciptakan seperti itu—untuk datang sebagai bunga malam yang mekar hanya di tidur kita, lalu gugur sebelum pagi.


---



Komentar

Postingan Populer