Jika bukan kamu,maka tak ada lagi
Sore itu hujan turun pelan, seperti seseorang yang tak ingin menyakiti siapa pun. Langit abu-abu menggantung rendah, seolah menunggu sesuatu yang tidak pernah datang. Aku duduk di halte tua yang catnya mulai mengelupas. Di bangku kayu yang licin oleh embun, aku duduk diam, hanya ditemani aroma tanah basah dan suara sepatu-sepatu basah yang lewat.
Sejak kamu pergi, tempat ini menjadi semacam tugu peringatan. Setiap detilnya menyimpan sesuatu dari kita. Tawa kecilmu. Raut bosanmu saat bus terlambat. Bahkan cara kamu menyebut namaku—setengah malas, setengah sayang.
"Aku pernah bahagia di sini," gumamku sendiri, nyaris tanpa suara.
Jika waktu bisa diputar, mungkin aku ingin kembali ke hari saat kamu pertama kali mengajak duduk di bangku ini. Kamu tidak membawa apa-apa saat itu, hanya senyum dan sepasang mata yang bisa melihat ke dalam diriku lebih jauh dari siapa pun sebelumnya.
“Kamu tau gak rasanya... dipaksa ngelepas padahal masih mau bertahan?” tanyaku, kali ini pada angin.
Bayanganmu masih duduk di sampingku. Rambutmu yang basah oleh gerimis. Jaket jeansmu yang kamu bilang terlalu tipis tapi tetap kamu pakai karena itu pemberian ibumu. Setiap detilnya masih hidup di kepalaku.
Dan ya, kamu pasti tahu bagaimana rasanya mati-matian melupakan, tapi masih sayang. Bagaimana rasanya ingin ikhlas, tapi masih ingin memilikimu, bahkan saat kamu sudah tak lagi memilikiku.
Waktu itu, kamu pernah bertanya padaku,
"Kenapa kamu sayang banget sama aku? Padahal aku biasa aja."
Dan aku menjawab dengan suara pelan, seperti membaca mantra,
"Karena kamu datang di saat aku bahkan tak ingin jatuh cinta pada siapa pun. Kamu datang ketika aku sedang mati rasa, sedang hancur, sedang ingin menyerah pada segalanya. Tapi kamu malah membuatku merasa hidup kembali."
Kamu hanya tertawa. Tapi aku serius
Hari demi hari berlalu sejak kamu pergi. Aku mencoba terlihat baik-baik saja. Bertemu orang, bicara basa-basi, menertawakan hal-hal yang tidak lucu. Tapi di dalam diriku, ada ruang kosong yang tidak bisa diisi siapa punKadang saat malam, aku membuka galeri ponsel. Ada foto kita di toko buku kecil yang kamu suka. Di situ kamu sedang memegang buku Haruki Murakami—"Norwegian Wood," katamu waktu itu, "kayaknya ini tentang orang yang patah hati tapi nggak bisa berhenti berharap."
Aku tertawa dan berkata, “Kayak kita, ya?”
Kamu mengangguk sambil nyengir, “Kayak kamu, lebih tepatnya.”
Sekarang aku mengerti.
Kamu tahu, aku selalu bangga cerita tentangmu ke temanku. Cerita bahwa aku punya seseorang yang membuatku merasa sangat beruntung. Seseorang yang tidak sempurna dalam ukuran dunia, tapi sempurna di mataku.“Dia orangnya ceria, baik, dan kalau ketawa itu bisa bikin lupa semua masalah,” kataku suatu malam pada Dani, sahabat lamaku.
Dia cuma menjawab pelan, “Lalu kenapa dia pergi?”
Aku diam.
Bagaimana mungkin menjelaskan bahwa kadang cinta pun kalah pada kenyataan? Bahwa dua orang yang saling mencintai bisa tetap berpisah karena dunia punya caranya sendiri menata takdir?
Suatu malam aku duduk di kamarku yang gelap. Hanya lampu meja yang menyala. Aku menulis surat padamu—surat yang tidak akan pernah kukirim.Beberapa waktu lalu, aku lihat foto kamu di media sosial. Kamu tampak bahagia. Ada seseorang di sampingmu yang bukan aku. Wajahmu masih sama, tapi matamu berbeda. Tak lagi mencariku"Kamu adalah hal berharga yang aku tunggu lama, seperti mutiara dari balik kerang. Tapi mungkin dunia ini bukan tempat kita bertemu untuk tinggal. Hanya untuk saling menyentuh sebentar, lalu pergi.
Jika bukan kamu, maka tidak akan ada lagi. Bukan karena aku tidak bisa mencinta lagi, tapi karena semua rasa sudah habis di kamu."
Dan tidak apa-apa.
Aku tidak menangis.
Tapi malam itu aku membuat teh hangat dan duduk sendiri lama sekali. Seperti seseorang yang baru saja menyadari bahwa dirinya tersesat, tapi terlalu lelah untuk kembali.
Seseorang pernah bilang padaku: “Kalau kamu mencintai seseorang, kamu harus bisa melepasnya."Tapi tidak ada yang pernah bilang betapa sakitnya itu.
Aku masih di sini, menulis cerita ini karena aku tak punya cara lain untuk menyampaikan rasa selain dengan huruf-huruf yang diam.
Aku tidak ingin kamu merasa bersalah. Ini adalah risiko dari mencintai seseorang tanpa batas. Aku tahu itu. Aku terima itu. Tapi izinkan aku berkata satu hal terakhir:
Jika suatu saat dunia jahat padamu, jika kamu tersesat atau terluka, kamu masih punya aku.
Aku akan tetap di tempat yang sama.
Dengan hati yang sama.
Dengan rasa yang tidak pernah benar-benar pergi.
Dan jika kamu ingin kembali,
kembalilah.
Aku di sini, masih menunggu,
di halte tua,
bersama hujan dan kenangan yang tak pernah benar-benar kering.
Komentar
Posting Komentar