Guru,Beban Negara ?(2)
Guru tidak pernah lahir untuk menjadi beban. Mereka justru adalah tiang penyangga peradaban. Tentu saja guru boleh dikritik, sebab kritik adalah cermin yang memantulkan ruang perbaikan. Masih ada guru yang kualitas ngajarnya perlu ditingkatkan. Itu kenyataan yang tak bisa disangkal. Tetapi kenyataan itu sama sekali tidak memberi legitimasi untuk menyebut guru sebagai beban negara.
Pertanyaannya justru harus dibalik: kenapa masih ada guru yang kualitasnya belum baik? Apakah ia masih punya kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri? Apakah jumlah murid di kelasnya manusiawi, atau justru menumpuk seperti pasar yang gaduh? Apakah sarana di sekolah sudah layak, atau masih bolong di sana-sini? Apakah gajinya cukup untuk sekadar hidup bermartabat, atau justru ia terpaksa mengorbankan sisa tenaga demi kerja sampingan agar dapur tetap mengepul?
Guru memang bukan manusia sempurna. Ada yang maksimal, ada yang masih harus berproses. Ada yang matang oleh pengalaman, ada yang baru menapaki jalannya dan butuh dibimbing. Tapi di sinilah seharusnya negara hadir: bukan dengan melabeli mereka sebagai beban, melainkan sebagai pelindung yang memberi ruang tumbuh, kesempatan belajar, dan jaminan kesejahteraan.
Kita sering lupa, kualitas seorang guru tidak bisa dipisahkan dari kualitas hidupnya. Bagaimana mungkin seorang guru bisa mendidik dengan penuh dedikasi bila pikirannya terbelah oleh kebutuhan sehari-hari yang tak terpenuhi? Bagaimana ia bisa menyemai cita-cita murid-muridnya, bila dirinya sendiri masih dipaksa bergulat dengan keterbatasan?
Saya pun sering mengkritisi guru, dan kritik itu sah-sah saja. Tetapi kritik saya tidak pernah berhenti di cemoohan. Kritik saya selalu lahir dari rasa cinta dan harapan agar guru lebih dihargai. Saya mendukung penuh agar guru disejahterakan. Sebab hanya setelah guru sejahtera, kita berhak mengajukan tuntutan yang lebih tinggi. Guru-guru pun tidak akan keberatan dituntut menjadi guru berkualitas, asalkan kesejahteraan mereka dijamin negara.
Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Guru itu digugu lan ditiru.” Digugu karena ucapannya dipercaya, ditiru karena tindakannya patut dicontoh. Tapi bagaimana ucapan itu bisa digugu bila suara mereka dipatahkan oleh rendahnya martabat? Bagaimana tindakan mereka bisa ditiru bila kehidupan mereka sendiri tidak layak untuk dijadikan teladan?
Guru adalah mata air. Dari mata air itulah lahir sungai-sungai ilmu yang mengalir ke ladang kehidupan kita. Tetapi bila mata air itu kering, apakah kita masih bisa berharap pada kejernihan sungai? Negara harus menjaga agar mata air itu tetap jernih, tetap mengalir, dan tetap memberi kehidupan.
Maka, jangan pernah menyebut guru sebagai beban. Sebab jika guru adalah beban, maka seluruh bangsa adalah penumpang yang tanpa sadar duduk di pundaknya. Tugas kitalah, terutama negara, untuk memastikan pundak itu tidak patah, melainkan kokoh menopang perjalanan bangsa menuju masa depan.
Komentar
Posting Komentar