Mengapa memiliki banyak hal masih gelisah?
Dulu, aku pernah duduk di sebuah rumah mewah. Kursinya empuk, lantainya dingin dan licin, kopi disajikan dalam cangkir porselen mahal. Tapi yang duduk di hadapanku—seorang lelaki dengan jam tangan Swiss dan karier gemilang—menatap kosong ke arah jendela.
"Aku capek," katanya. Bukan lelah fisik. Tapi jiwanya seperti berjalan ribuan kilometer tanpa tahu ke mana arahnya.
Lalu suatu hari, aku duduk bersila di beranda rumah bambu milik seorang petani tua. Tak ada televisi, tak ada mobil, bahkan air harus ditimba. Tapi ia bercerita tentang panen yang gagal dengan senyuman sabar, dan mengucap syukur saat menyeduh teh dari daun yang ia petik sendiri. Tidurnya nyenyak, tawanya ringan, dan hidupnya tenang.
Lalu aku mengerti:
Bukan rumah yang menentukan isi hati,
Tapi isi hati yang menentukan apakah rumah itu terasa rumah, atau hanya bangunan sunyi tanpa roh.
Banyak orang gelisah bukan karena kurang,
tapi karena berlebihan di luar dan kekurangan di dalam.
Berlebihan harap, kekurangan hening.
Berlebihan ambisi, kekurangan makna.
Berlebihan pencapaian, kekurangan penerimaan.
Karena ternyata, penderitaan bukan datang dari kenyataan,
tapi dari pikiran yang tak terlatih menafsirkan kenyataan itu dengan jernih.
Ketika seseorang tidak membalas pesanmu,
pikiranmu yang liar mulai bersuara:
“Mungkin dia marah. Mungkin dia bosan. Mungkin aku salah.”
Dan kamu gelisah, padahal mungkin baterainya habis.
Atau mungkin dia sedang tertidur karena hari itu terlalu panjang.
Itulah jebakan pikiran yang tak sadar.
Ia menciptakan cerita,
cerita menciptakan perasaan,
dan perasaan itu mengarahkan langkah-langkahmu selanjutnya.
Kadang menjauh padahal seharusnya mendekat.
Kadang marah padahal hanya perlu bertanya.
Pikiranmu, jika tidak disadari, akan menjadi penulis novel drama yang tak pernah kamu pesan.
Kita diajari sejak kecil bagaimana meraih nilai bagus, pekerjaan tetap, pasangan ideal, dan rumah yang layak. Tapi sangat jarang diajari bagaimana caranya berdamai dengan diri sendiri. Kita belajar mengelola keuangan, tapi tidak belajar mengelola emosi. Kita diajari berbicara, tapi tidak diajari bagaimana diam.
Padahal di situlah letak kunci:
Kesadaran.
Kesadaran atas isi pikiranmu.
Kesadaran atas rasa yang muncul.
Kesadaran bahwa kamu bukan pikiranmu.
Bukan emosimu.
Kamu adalah ruang di mana semua itu muncul dan berlalu.
Jadi, bagaimana caranya mengelola pikiran dan emosi?
Jangan buru-buru ingin tercerahkan.
Mulailah dari yang paling dasar dan paling dekat: napas.
Duduklah. Tarik napas perlahan. Rasakan ia masuk. Rasakan ia keluar.
Biarkan pikiranmu bergemuruh, jangan lawan, tapi jangan ikuti.
Hanya saksikan.
Seperti kamu menonton awan lewat tanpa harus menjangkaunya.
Itulah langkah pertama dari ribuan langkah: latihan.
Bukan untuk mengubah dunia,
tapi agar kamu tidak terus diseret-seret oleh dunia.
Sebab, pada akhirnya,
ketenangan bukan datang dari memiliki segalanya,
tapi dari tidak diperbudak oleh apa pun.
Dan saat kamu bisa duduk tenang, meski dunia sedang ribut di luar,
itulah saat ketika kamu benar-benar memiliki dirimu sendiri.
*Foto Sunrise Gunung Bromo
Komentar
Posting Komentar