Guru,Beban Negara ?

Ada kalimat yang belakangan ini sering muncul, entah sebagai ungkapan kecewa atau sekadar provokasi murahan: “Guru adalah beban negara.” Kalimat itu, bila dicermati, bukan hanya sebuah penilaian yang dangkal, melainkan juga sebuah penghinaan terhadap sejarah panjang peradaban bangsa ini.

Karena jika guru dianggap beban, maka sejak awal bangsa ini berdiri, para pendiri negeri sesungguhnya sedang memikul sebuah beban yang tak pernah berkesudahan. Padahal mereka tahu, tiang pertama yang harus ditegakkan untuk menopang kemerdekaan adalah pendidikan. Dan pendidikan tidak pernah lahir tanpa guru.

Guru bukan beban negara. Guru adalah matahari pagi yang menyingkap kabut kebodohan. Mereka adalah obor kecil yang menjaga cahaya tetap hidup, agar peradaban tidak terjerumus ke dalam gelap yang panjang. Meski cahaya itu sering redup diterpa angin kesulitan, mereka terus menjaga nyalanya, karena mereka tahu: tanpa api pengetahuan, bangsa ini hanya akan berjalan dalam kegelapan.

Negara memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa—itu janji konstitusi. Tetapi siapa yang menjalankan janji itu di ruang-ruang nyata kalau bukan guru? Dari ujung kampung di pelosok pegunungan hingga lorong-lorong sekolah di kota besar, merekalah yang setia berdiri di depan papan tulis, membagi bukan hanya ilmu, tetapi juga kesabaran.

Kita boleh membangun jalan tol panjang berkilometer, membangun jembatan megah yang menghubungkan pulau, membangun gedung pencakar langit yang menyentuh awan. Tetapi apa artinya semua itu jika isi kepala bangsa ini kosong? Apa gunanya semua kemegahan infrastruktur, bila generasi yang lahir tak mampu berpikir kritis, tak sanggup membedakan benar dan salah, tak bisa memahami nilai moral yang menjaga kehidupan?

Infrastruktur bisa roboh, ekonomi bisa runtuh, kekuasaan bisa berganti. Tetapi ilmu yang diwariskan guru akan tetap menyala di kepala murid-muridnya, bahkan berlanjut hingga generasi berikutnya. Itulah peradaban sejati—peradaban yang tak bisa dibeli dengan uang minyak, gas, atau emas.

Mengkritik kualitas guru tentu sah. Kita tahu bahwa dunia pendidikan kita masih jauh dari sempurna. Ada guru yang mengajar sekadar rutinitas, ada yang tidak beradaptasi dengan zaman, ada pula yang terjebak pada birokrasi ketimbang mendidik. Tetapi menyebut guru sebagai beban negara adalah bentuk kebutaan historis sekaligus kejahatan moral.

Karena dari ruang kelas sederhana itu lahirlah semua profesi lain. Dokter belajar dari guru. Hakim belajar dari guru. Tentara belajar dari guru. Politisi pun dulu duduk di bangku sekolah, mengeja huruf demi huruf, angka demi angka, di bawah bimbingan seorang guru. Ironi terbesar adalah ketika orang yang pernah dibentuk oleh tangan seorang guru justru menuduh gurunya sebagai beban.

Bayangkan seorang anak di pelosok, berjalan kaki beberapa kilometer hanya untuk sampai ke sekolah. Ia bertemu seorang guru yang meski gajinya pas-pasan, tetap setia mengajarkan abjad dan angka. Dari pelajaran sederhana itu, kelak anak itu bisa menjadi seorang pemimpin besar. Jika anak itu berhasil, semua akan bertepuk tangan. Tetapi siapa yang akan mengingat sosok guru di balik kisah suksesnya? Guru seringkali seperti akar pohon: tak terlihat, tetapi tanpanya pohon tidak akan pernah berdiri tegak.

Menghormati guru bukan semata-mata soal memberi gaji yang layak, meskipun itu adalah kebutuhan dasar. Menghormati guru adalah juga memberi mereka martabat. Negara yang ingin peradabannya berdiri kokoh harus menempatkan guru pada posisi terhormat. Karena guru bukan sekadar profesi, melainkan sebuah panggilan jiwa yang membawa dampak luas bagi arah bangsa.

Sayangnya, penghormatan itu seringkali hanya muncul dalam bentuk slogan manis di Hari Guru. Setelah itu, semuanya kembali seperti semula: guru harus berjuang sendiri, menyesuaikan diri dengan perubahan kurikulum yang begitu cepat, menghadapi tekanan administratif, bahkan terkadang harus meminjam untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Di titik inilah kita bisa melihat wajah asli bangsa ini: bangsa yang suka memuja simbol, tetapi pelit memberi penghargaan nyata. Bangsa yang mudah menuduh, tetapi pelit berterima kasih.

Negara yang maju adalah negara yang menghargai guru. Jepang misalnya, pasca hancur karena bom atom, mereka memilih fokus pada pendidikan. Pertanyaan pertama yang diajukan pemimpin Jepang saat itu adalah: “Berapa banyak guru yang masih hidup?” Karena mereka sadar, untuk membangun kembali bangsa, bukan uang atau senjata yang pertama dibutuhkan, melainkan guru.

Bandingkan dengan negeri kita yang justru kadang masih menempatkan guru di urutan belakang. Kita sibuk membanggakan pembangunan fisik, sibuk dengan jargon ekonomi, tetapi lupa menaruh perhatian pada fondasi utama: pendidikan. Padahal tanpa pendidikan, semua itu hanyalah rumah megah di atas pasir.

Guru bukan beban negara. Guru adalah tanggung jawab negara. Negara yang lalai pada guru sama saja dengan negara yang sedang menggali kuburnya sendiri.

Jika masih ada yang tega menyebut guru sebagai beban, barangkali ia sudah terlalu lama lupa pada dirinya sendiri. Lupa pada sosok yang dulu pertama kali menuntunnya menulis namanya di kertas lusuh. Lupa pada suara yang dengan sabar mengulang penjelasan meski muridnya tak kunjung paham. Lupa pada tangan yang gemetar karena lelah menulis di papan tulis, tetapi tetap tersenyum melihat muridnya berhasil.

Guru adalah mata air yang tak pernah kering, meski sering diabaikan. Guru adalah penjaga api obor peradaban, yang terus menyala meski diterpa angin zaman. Guru adalah akar yang dalam diam menopang kehidupan pohon bangsa.

Negara harus menghargai guru. Jika ingin peradaban bangsa ini lebih maju, jangan biarkan kata-kata “guru beban negara” mendapat tempat. Karena itu bukan sekadar kalimat salah, melainkan luka yang menusuk hati para pendidik yang diam-diam menanggung beban sesungguhnya: beban harapan bangsa ini.

Dan beban itu, dengan segala kerendahan hati, mereka pikul setiap hari tanpa mengeluh.


Komentar

Postingan Populer