Di Tepi Hening: Percakapan tentang Kekosongan

Kabut pagi menggantung rendah di atas pepohonan. Suara burung hutan terdengar jauh, samar, seakan takut mengganggu keheningan yang sudah ada jauh sebelum aku tiba. Jalan setapak yang kulalui berakhir di depan sebuah gubuk sederhana, berdiri di bawah pohon beringin yang akarnya mencengkeram tanah seperti tangan tua yang tak mau melepaskan.

Di sana duduk seorang pertapa tua. Rambutnya putih, matanya jernih seperti mata air pegunungan. Tangannya menggenggam sebuah cangkir tanah liat. Ketika aku mendekat, ia menoleh, lalu menunjuk ke sebuah batu datar di hadapannya.

“Duduklah,” katanya, suaranya tenang namun dalam. “Kau datang mencari jawaban, bukan?”

Aku mengangguk. “Guru… aku ingin tahu, mengapa hidup ini penuh penderitaan? Mengapa begitu banyak hal yang kita genggam justru akhirnya meninggalkan kita?”

Sang pertapa tersenyum tipis, lalu menatap jauh melewati pepohonan yang diselimuti kabut.
“Aku akan memberitahumu sesuatu yang sederhana, tapi sulit kau terima. Segala keberadaan ini… hanyalah *shunyata*. Kosong dari inti diri.”

Aku menatapnya bingung. “Kosong? Tapi… bukankah aku ada? Bukankah kau ada? Bukankah hutan ini nyata?”

Ia mengangkat segenggam tanah dari sampingnya, lalu membiarkannya jatuh perlahan di sela jarinya.
“Kita ini bukan siapa-siapa. Tubuhmu ada karena tanah yang menopang, air yang mengalir di nadimu, api yang menghangatkan darahmu, dan angin yang menghidupkan napasmu. Lepaskan satu saja, dan tubuhmu hanyalah cerita yang selesai terlalu cepat.”

Aku terdiam, mencoba membayangkan diriku tanpa udara, tanpa air, tanpa api kehidupan. Rasanya seperti melihat bayangan yang pudar di tepi senja.

Sang pertapa menunjuk ke arah sebuah bunga liar yang bergoyang ditiup angin.
“Lihatlah bunga itu. Dari benih ia tumbuh, dari tumbuh ia merekah, dari merekah ia layu, dan akhirnya kembali menjadi tanah. Begitu pula dirimu. Begitu pula batinmu—pikiran yang datang seperti awan, perasaan yang pergi seperti senja. Semuanya sementara. Semuanya berubah.”

Aku menunduk. “Kalau begitu, apa yang kita rasakan ini… tidak nyata?”

Ia menatapku lekat, seperti membaca setiap kata yang tak sempat terucap.
“Nyata seperti mimpi yang kau alami di malam hari. Saat kau bermimpi, kau merasakan takut, senang, marah, cinta… Semuanya terasa begitu hidup. Tapi ketika kau terbangun, kau sadar itu hanyalah bayangan pikiranmu. Begitu pula hidup ini. Apa yang kau sebut nyata hanyalah ilusi yang disusun oleh pikiran dan pancaindra. Ia tampak nyata, tapi tak memiliki inti yang kekal.”

Aku menelan ludah. “Kalau semuanya ilusi, mengapa kita tetap merasa sakit saat kehilangan? Mengapa hati ini tetap hancur?”

Sang pertapa tersenyum, lalu menyesap tehnya perlahan.
“Karena kau menggenggam. Dan setiap genggaman, cepat atau lambat, akan kehilangan apa yang digenggamnya. Lihat tanganmu—jika kau genggam pasir terlalu kuat, ia akan lolos di antara jarimu. Begitulah semua hal di dunia ini. Tak ada yang bisa kau genggam selamanya.”

Ia menunduk, mengambil sehelai daun kering, lalu meniupnya hingga terbawa angin.
“Kau menderita karena kau ingin sesuatu yang tak bisa diubah: agar yang sementara menjadi abadi. Agar yang berubah tetap sama. Dan itu mustahil.”

Aku menatap daun itu menghilang di antara pepohonan.
“Lalu… jika semua ini kosong, apa gunanya hidup?”

Pertapa itu menatapku lama. “Hidup bukan untuk menggenggam. Hidup adalah untuk menyaksikan. Seperti menonton tarian api—indah, hangat, dan hidup—meski kau tahu pada akhirnya ia akan padam. Kau belajar untuk berada di tengah tarian itu tanpa berusaha menahannya.”

Ia melanjutkan, “Ketika kau sadar bahwa semua ini hanyalah perpaduan elemen-elemen yang saling tergantung, kau akan berhenti menganggap dirimu pusat dari segalanya. Kau akan mulai hidup lebih ringan, tanpa beban melekat.”

Aku menghela napas. “Tapi guru… bukankah melepaskan itu sulit? Aku takut jika aku melepaskan, aku akan kehilangan segalanya.”

Sang pertapa menggeleng. “Justru ketika kau melepaskan, kau akan melihat bahwa tak ada yang benar-benar bisa hilang. Segalanya hanya berubah bentuk. Air di cangkirmu menguap menjadi awan, lalu turun kembali sebagai hujan. Begitu pula cinta, begitu pula luka, begitu pula dirimu sendiri.”

Hening menyelimuti kami. Hanya suara dedaunan bergesekan dihembus angin.
“Lalu… bagaimana aku memulai, guru?” tanyaku pelan.

Ia menatapku dalam-dalam. “Mulailah dengan menerima. Yang kosong, biarkan kosong. Yang datang, biarkan datang. Yang pergi, biarkan pergi. Jangan melawan arus yang membawa segala sesuatu. Ketika kau berhenti melawan, penderitaan akan kehilangan pijakannya.”

Aku menunduk, merasakan setiap kata itu seperti batu yang dilempar ke dalam kolam hati, menciptakan riak yang pelan tapi pasti mengubah permukaannya.

Pertapa itu berdiri, menatap langit yang mulai memudar warnanya.
“Suatu hari, kau akan benar-benar mengerti. Dan ketika hari itu tiba, kau akan melihat bahwa di balik kekosongan… ada kebebasan yang bahkan kematian tak bisa menyentuhnya.”

Ia berjalan perlahan kembali ke gubuknya, meninggalkanku sendiri di tepi hening.
Kabut pagi mulai menipis. Bunga liar di kejauhan masih bergoyang, seperti mengangguk pada kebenaran yang baru saja kudengar.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa genggaman tanganku mulai mengendur.

---


Beberapa hari setelah pertemuan dengan sang pertapa, aku kembali ke desa. Jalan berbatu yang kulalui kali ini terasa berbeda. Rumah-rumah berdiri sama seperti sebelumnya, pasar masih riuh oleh pedagang yang memanggil-manggil pembeli, anak-anak berlari sambil tertawa. Tidak ada yang berubah… kecuali caraku melihatnya.

Aku mulai menyadari hal-hal kecil yang sebelumnya luput dari mataku. Seorang ibu menawar sayur dengan wajah memelas, penjualnya tersenyum setengah hati lalu menurunkan harga. Di sudut lain, seorang bocah menangis karena balonnya pecah, ibunya mencoba menghibur dengan membelikan es krim. Semua itu, kulihat seperti ombak yang datang dan pergi di pantai: ada, bergerak, lalu hilang.

Kata-kata sang pertapa terngiang di telingaku: *Yang datang, biarkan datang. Yang pergi, biarkan pergi.*

Hari itu, di rumah, aku duduk di beranda sambil memandangi pohon mangga di halaman. Dulu aku selalu khawatir buahnya akan dicuri orang sebelum sempat masak. Tapi kali ini, pikiranku berbeda. *Jika buah itu tumbuh, ia akan matang. Jika matang, ia bisa dimakan. Jika tidak aku yang memakannya, mungkin burung atau tetangga yang lapar. Apa bedanya?*

Aku tersenyum pada diriku sendiri. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa kehilangan bahkan sebelum kehilangan itu terjadi.

Namun, mempraktikkan *shunyata* tidak semudah mengulang kata-kata sang pertapa. Tantangan sebenarnya muncul saat menyentuh hal-hal yang paling melekat di hati.

Suatu sore, aku bertemu dengan Laksmi di tepi sungai. Ia adalah seseorang yang pernah sangat dekat denganku—dan juga seseorang yang pergi tanpa banyak penjelasan. Dahulu, setiap kali mengingatnya, ada perih yang seperti tak mau sembuh.

Kami berbicara singkat. Tentang cuaca, tentang keluarga, tentang hal-hal remeh yang tak berarti. Tapi saat ia tersenyum pamit, aku melihatnya seperti melihat bunga liar di hutan: indah, namun tak perlu kucabut untuk kumiliki.

Dalam hatiku, aku berkata, *Terima kasih sudah pernah datang. Dan terima kasih sudah pergi.*

Beberapa minggu kemudian, aku kembali ke hutan, mencari sang pertapa. Ia duduk di tempat yang sama, di bawah beringin, seolah waktu tidak pernah menyentuhnya.

“Aku mencoba, guru,” kataku, “dan aku mulai melihat semuanya berubah seperti yang kau katakan. Tapi… terkadang aku takut. Jika aku terlalu melepaskan, bukankah aku akan menjadi dingin? Bukankah aku akan kehilangan rasa?”

Sang pertapa menatapku lama, lalu tersenyum samar. “Melepaskan bukan berarti mematikan rasa. Justru melepaskan membuat rasa itu lebih jernih. Kau mencintai bunga bukan dengan memetiknya, tapi dengan membiarkannya hidup. Kau peduli pada seseorang bukan dengan mengikatnya, tapi dengan membiarkannya bebas. Melekat adalah bentuk ketakutan; melepaskan adalah bentuk keberanian.”

Ia mengambil batu kecil dan melemparkannya ke sungai. Riak air menyebar, lalu mereda.
“Air tidak menolak batu yang jatuh. Ia menerima, lalu kembali tenang. Begitulah hatimu seharusnya.”

Aku termenung. “Tapi guru… bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tetap menderita?”

“Tidak ada yang gagal,” jawabnya, “setiap kali kau sadar kau sedang menggenggam terlalu erat, dan kau sedikit mengendurkan genggaman itu—itu sudah latihan. Bahkan penderitaan adalah guru yang baik. Ia menunjukkan di mana kau masih melekat.”

Hari itu aku pulang dengan hati ringan.

Waktu berjalan, dan aku mulai merasakan perubahan yang halus tapi nyata.
Ketika hujan turun dan mencuci habis rencana yang sudah kususun, aku tidak lagi marah. Aku menatap hujan seperti menatap anak kecil yang bermain di halaman—liar, bebas, dan tidak bisa dikendalikan.
Ketika kehilangan pekerjaan yang dulu sangat kubanggakan, aku menangis sebentar, lalu ingat bahwa ini hanyalah satu bab yang selesai agar bab lain bisa dimulai.
Ketika seseorang yang kucintai jatuh sakit, aku ada di sisinya bukan untuk memaksanya sembuh, tapi untuk menemaninya di setiap napas yang tersisa.

Aku mulai mengerti bahwa hidup ini bukan soal mempertahankan apa yang kita punya, melainkan tentang hadir sepenuhnya pada setiap momen—meski momen itu hanya singgah sebentar.

Suatu pagi, aku duduk di tepi sungai tempat dulu aku bertemu Laksmi. Airnya terus mengalir, membawa ranting, daun, bahkan kadang bunga-bunga liar. Tidak ada yang tinggal di satu tempat. Dan aku tersadar—hidup tidak pernah berjanji akan memberi kita keabadian. Ia hanya mengundang kita untuk menari di tengah arusnya.

Aku menutup mata, menghirup udara pagi, dan membiarkan suara air membawa pikiranku pergi.
Dalam diam, aku mendengar bisikan sang pertapa:
*Yang kosong, biarkan kosong. Yang datang, biarkan datang. Yang pergi, biarkan pergi.*

Dan untuk pertama kalinya… aku mengerti.

---

Di akhir semua percakapan, aku menyadari bahwa ajaran sang pertapa bukanlah mantra untuk dihafal, melainkan jalan yang hanya bisa dipahami dengan melangkah di atasnya. Kata-kata *shunyata* terdengar sederhana, namun untuk menghidupinya, diperlukan keberanian yang tidak semua orang mau miliki—keberanian untuk kehilangan, keberanian untuk tidak memegang kendali.

Dulu aku kira kebahagiaan datang ketika aku berhasil menjaga semua yang kucintai tetap berada di sisiku. Aku kira kedamaian berarti semua berjalan sesuai rencanaku. Tapi kini aku tahu, kedamaian bukanlah hasil dari menggenggam, melainkan dari mengendurkan genggaman itu hingga aku bisa merasakan dunia tanpa takut kehilangannya.

Aku ingat suatu kali sang pertapa berkata,
“Orang yang melekat adalah orang yang mencoba memenjarakan angin di dalam genggamannya. Angin akan tetap lolos. Dan yang tersisa hanyalah kelelahan.”

Kini aku mengerti. Semua yang kita sebut milik—harta, hubungan, bahkan tubuh ini—hanyalah pinjaman sementara. Kita datang tanpa membawa apa-apa, dan kita akan pergi dengan cara yang sama. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah hadir di setiap momen, menyaksikan tarian segala sesuatu tanpa berusaha menghentikannya.

*Shunyata* bukanlah ketiadaan rasa, melainkan ruang luas yang membiarkan rasa datang dan pergi tanpa memerangkapnya. Di sanalah cinta menjadi murni, karena ia tak lagi dibebani oleh ketakutan kehilangan. Di sanalah kesedihan menjadi lembut, karena ia tahu dirinya tidak akan bertahan selamanya.

Dan ketika genggaman itu benar-benar menjadi hening, aku menemukan sesuatu yang selama ini kucari—bukan kegembiraan yang riuh, bukan kemenangan yang memabukkan, melainkan kebebasan yang diam, yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang tak lagi berusaha menguasai dunia.

Di tepi hening itu, aku tak lagi menuntut hidup untuk sesuai denganku.
Aku hanya berjalan bersama arusnya.
Dan ternyata… di sanalah aku benar-benar hidup.

---




Komentar

Postingan Populer